Huwaaaat? Skip challenge yang lagi viral itu? Yang permainannya menekan dada sekeras-kerasnya dan menyebabkan pingsan atau kejang-kejang itu?
Yess… yang itu. Yang ramai-ramai dibagikan para remaja dengan hestek #skipchalllenge yang katanya kekinian itu. Ng.. sebenarnya siiiih ga baru-baru banget.
Huwaaat??? Ga baru-baru bangeeet?
Hedeeeeh… iyeeees. Jaman saya lagi ngehits dulu, nama permainannya Yoko-yokoan (mungkin terinspirasi dari film legenda ular putih hihi) Terus jamannya Paksu lebih lama lagi, namanya surup-surupan.
Saya saat itu gimana? Yaaaa… berasa waw aja gituh: mereka berani. Tapi cuma bisa senyum dan melipir ketika ada yang mengajak wkwkwk.
Yup. I chose NOT to do it. Biarin dah dikata ga keren. Ga gahul. Kenapa harus malu dengan standar yang dibuat orang lain? Begitu pesan Mama saya, rahimahallah, yang berhasil membantu saya mendefinisikan kata keren dalam KBBM: Kamus Besar Bahasa Mierza.
Kalau ada hal ‘keren’ yang dilakukan teman-teman, Mama tanya ‘Kenapa ya harus gitu? Itu tujuannya apa? Kalau buat… kenapa gak…” dst dsb dki dllaj. Beliau selalu bersedia mendengar, meski setelah memarahi sebentar kalau saya ketauan ikutan aneh-aneh hahaha… Tapi selanjutnya ya saya dibantu dalam mencari solusi. Tanpa label. Sampai teman-teman kuliah saya menyebut saya dan Rahimahallah Gilmore Girls saking kompaknya.
***PELABELAN DAN PENGABAIAN KITA***
Oke balik lagi ke skip challenge tadi. Akhirnya, sebagai orang yang pernah merasa ‘remaja’, saya sampai pada kesimpulan ini. Anak-anak abegeh itu ituuu.. yang pada sekip2 chellenj, mereka jarang ditanya ‘KENAPA’ sama orang2 dewasa sekitarnya. Jarang dilibatkan. Jadi, IMO… ya itu murni bukan kesalahan mereka.
Itu hasil dari pelabelan dari KITA. Dari pengabaian kita. Wong kita sebagai orang dewasa juga belum apa-apa udah berburuk sangka sih.
Huwaaat??? Yu don seeei!
-_- Masuk ke contoh deh. Misalkan ketika kita melihat remaja (yang kita kenal) gayanya agak ajaib, apa yang kita lakukan? Kalau kita ujug-ujug memarahi, nyindir, melototin, atau malah menjaut sambil bilang pait pait pait.. yaaa kita termasuk orang dewasa yang doyan melabel atau mengabaikan.
Akibatnya? Yaaaa kayak cermin deh. Anak-anak itu bisa jadi akan mengiyakan label dari kita. Bisa jadi mereka akan menyukai pengabaian yang kita lakukan. “Ok fine, gue beli! Gitu kasarnya”
Lalu, mungkin kita bertanya: “Tapi kaan.. adabnya gimanaaa? Masa depannya gimana kok yo kayak gituuuu modelnya? Dimana ilmu agamanya?? Orang tuanya pasti didiknya ga bener. Anak jaman sekarang. Generasi alay tuh. Pasti kena harta haram.” Nah kaan.. nah kaaan. Well, that’s labelling.
Okeee.. okee.. saya ga bilang mereka ga salah loooh. Saya fokus pada KITA. Iyes, KITAAAA. Kita yang (ga semuanya memang) telah melabel dan mengabaikan anak remaja itu. What have we done about it? Cuma heboh share2 aja mah malah bikin mereka pada semangat melakukan yang lebih ajaib lagi. Trust me, been there done that. Adrenalin, meeeen…. yang begituh aja viral, apalagi yaang…. silahkan isi titik-titiknya.
Mulai ga setuju soal pelabelan dan pengabaian? Hehe.. bagaimana jika saya katakan bahwa kita memperlakukan pemuda-pemudi itu (ganti kata remaja yah) TIDAK seperti Rasulullah memperlakukan mereka?
Hmmm.. coba renungkan kembali deh, jika ada seorang pemuda (yang kita kenal yaaa… anggap aja tetangga) datang pada kita bertanya.. hanya bertanya loh ya… “Bu, di komplek ini saya boleh berzina?”
Apa jawaban Anda?
A. Langsung menegur “Ga boleh, dosa!”
B. Membiarkan, ga enak soalnya sama tetangga.
C. Ngamuk, marah-marah.
D. Menantang akalnya untuk berpikir.
Jika Anda memilih D dengan mengarahkannya pada dalil, makaaa.. masyaAllah… Anda mengambil cara yang dilakukan Rasulullah dalam menghadapi pemuda-pemuda yang ajaib pola pikirnya ini. Serius.
Inget ga kisah seorang pemuda yang datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!” dalam hadits shahih riwayat Ahmad? Orang-orang sekitarnya pada menghardik kan? Tapi, apa yang Rasulullah lakukan?
Rasulullah bilang ga, “Heleh, mikirnya ke situ mulu” atau.. “pasti deh anak muda jaman sekarang” (inga2.. tetep ada yg ga percaya dengan Islam tho saat itu).
Ngga. Rasulullah malah mengajaknya mendekat. Menantang akalnya untuk berpikir melalui pertanyaan-pertanyaan seperti, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain? Putrimu? Saudari kandungmu? dan seterusnya… (nash lengkapnya ada di bagian bawah postingan ini di klastulistiwa.com ya)
Abis nasehatin itu, apa yang Rasulullah lakukan? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”
Nah kaaaan… Pemuda itu didoakaaan saudara-saudaraaaa… bukannya dinyinyirin, disumpahin, dijauhin, dst, dsb, dki, dllaj.
See? Jadi, sebelum melabel atau membiarkan mereka, sudahkah kita berdialog? Bertanya? Mencari tahu? Mendekati mereka? Atau kita mencukupkan diri dengan pelarangan dari Mendikbud tentang si sekip ini? (Baru dimuat media baru-baru ini, Buibuuuu)
Hedeeeh… kalau cuma larang-larang, yang ada itu akun-akun Instagram digembok deh… Eit… viral teuteup: di kalangan sendiri. Efeknya? Yaaa kita ga bisa tau lagi apa yang mereka lakukan. Lebih bahaya mana???
.
***SO TO WRAP UP***
Kalau ternyata mengubah remaja seluruh Indonesia masih terlalu gegap gempita, yuks kita mulai dululah dari pemuda-pemudi yang terdekat. Mulai dari anak kita, saudara kita, tetangga kita, anak teman kita. Libatkan mereka dalam percakapan. Libatkan diri kita dalam dunia mereka. Tahan semua label negatif. Mereka hanya ingin didengarkan, dipahami, dan diluruskan dengan cara yang baik.
Tapiii… usahakan jangan terlibat lho yaaa. Maksudnya jangan malah ikutan sekip2an wkwkwk. Yakin deh, mereka punya istilah buat orang dewasa seperti ini: sok asik. Mereka ga butuh orang dewasa yang sok asik. Yang mereka butuhkan orang dewasa yang konsisten. Yang bersedia mendengarkan. Yang mengarahkan tanpa melabel.
Yuks, latih cara berkomunikasi dengan para pemuda harapan bangsa ini. Belajar cara komunikasi seperti Rasulullah melalui nash-nash yang shahih agar tuh ilmu ga masuk kuping kiri keluar kanan.
Yang pastiiii… selalu minta bantuan Allah agar kita dianugrahi generasi penerus yang diberkahi. Doakan.. doakan.. doakan… doakan generasi ini tanpa lelah. Bukankah “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka?” (Ar Ra’d:11)
Catatan:
Berikut hadits yang dimaksud dalam posting ini…
Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”
Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, “Diam kamu! Diam!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mendekatlah.”
Pemuda itu pun mendekat lalu duduk.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” sahut pemuda itu.
“Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka dizinai.”
Lanjut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” pemuda itu kembali menjawab.
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika putri mereka dizinai.”
“Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai.”
“Relakah engkau jika bibi – dari jalur bapakmu – dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.”
“Relakah engkau jika bibi – dari jalur ibumu – dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina.
Di sebuah grup percakapan virtual, terdapat sebuah diskusi yang dimulai dengan pertanyaan sebagai berikut:
“Si sulung yang berusia 4 tahun, perempuan, tidak mudah bersosialisasi di tempat baru, tidak mau masuk PAUD, dan hanya mau menurut dengan ayahnya saja dan jauh dengan saya sebagai ibunya. Ia punya adik berusia 20 bulan. Sepertinya dia merasa iri dengan adiknya. Saya sudah mencoba sabar mendekatinya dan menunjukkan perhatian dan memberikan pengertian padanya. Bahwa ibu sayang, adik juga sayang dengan kakak. tapi dia selalu melawan jika dengan saya. Apa pengalaman bunda dalam mengatasi masalah sanak tersebut?”
(Catatan: pertanyaan ini sudah diijinkan untuk dibagikan oleh penanya)
Ah ya.. Panik. Mungkin itu yang kita alami sebagai ibu-ibu muda yaaa. Kita? Kamu aja kaleee? Iya baiklah.. Cuma saya aja yang ibu muda karena masih muda. #apasih
Tapi pertanyaan ini memang buaaaanyak muncul dari beberapa ibu muda seperti saya (#okecukupmierza!) Terutama, saat lingkungan ‘memvonis’ anak kita yang dibawah 5 tahun itu dianggap balita yang susah bergaul. Rasa baper pun semakin menguat ketika di saat yang sama ada anak yang dibilang ‘berani, mau bergaul’ tepat setelah anak kita disebut balita ngga gahul.
Padahal oh padahal…
Inilah Saat Tepat Memperkuat Ikatan Dengan Orang Tua
Usia emas ini memang saatnya yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai aqidah, moral, dan adab. Dengan bonding yang kuat dengan orang tuanya, insya Allah anak akan kuat dan percaya diri menunjukan nilai yang sesuai dengan apa yang diajarkan orang tuanya dalam pergaulan sosial.
Seperti nasihat Lukman yang tidak lekang digerus zaman, yang pertama dilakukan adalah menghadirkan Allah di waktu-waktu mustajab untuk berdoa. Dan tentunya, pada saat mengobrol dengan anak. Jadi, ketika anak tidak bersama kita, kita sandarkan kepada Allah untuk menjaga hatinya.
Dia akan PD bilang ‘Kata Umiiiii…’ ketika dihadapkan pada hal-hal yang tidak sesuai visi misi keluarga dan agama. Dan ini bisa terjadi jika Allah sudah membangun chemistry dengan orang tua. Ada skenario, insyaAllah, kenapa Allah membuatnya menjadi ‘pemalu‘ di hadapan teman-temannya pada usia-usia ini. Karena itulah saat kita menjadi temannya.
Jadi, jangan kuatir jika anak kita dicap sebagai balita yang susah berteman. Karena inilah kesempatan untuk membangun masa-masa ‘muraqabah’ di masa depan. Merasa dilihat Allah.
Tapi Dia Juga Kurang Komunikasi Dengan Ibunya, Malah Deketan Sama Ayahnya. Gimana Dong?
Untuk membangun komunikasi dengan orang tua, tidak bisa seperti Tarzan yang berkata, “Kamu duduk. Saya Tarzan” atau seperti radio yang tidak berhenti siaran. Membangun komunikasi dengan anak membutuhkan ilmu agar apa yang kita ucapkan sesuai dengan tingkat pemahaman anak kita. Agar inti pesan kita sampai.
Agar adil, saya akan memberi contoh dari pengalaman saja. Saya membiasakan diri menggunakan kalimat pendek yang sebisa mungkin tidak lebih dari 5 kata. Berjeda. Sambil berlutut, atau ndeprok di lantai.
Ketika anak enggan atau melawan, saya akan lebih serius mengambil waktu. Menggunakan suara yang lebih datar, dalam, dan tegas. Sebisa mungkin tidak emosi, meski ini syusyah, karena lebih mudah untuk teriak. PR-nya adalah memberikan ‘nasihat’ saat anak moodnya baik.
Mengenai lebih dekat dengan ayah? Oh, itu rejekiiii. Lihatlah betapa banyak bersliweran ibu-ibu galau yang merasa suaminya tidak turut serta dsalam pengasuhan. Sampai ada wacana “Fatherless Country” segala. Maka, mari bersyukur saja, jangan dijauhkan dengan ayahnya. Sambil mempraktikan cara berkomunikasi yang berterima. Jangan lupa peluk dan sampaikan terima kasih kepada sang partner hidup yang bersedia mengambil peran dalam pengasuhan. 😉
Tentang Cemburu Dengan Adik?
Lagi-lagi agar adil, saya akan berbagi pengalaman pribadi. Oh bukaaaan.. saya bukan psikolog apalagi pakaarrr pengasuhan anak. Saya praktisi.. seperti buibu semua.
Baiklah, saya memiliki 3 anak berusia 10, 5, dan 1 tahun. Saya melibatkan sulung dan tengah dalam mengurus si bayi. Mengapresiasi setiap hal kecil yang mereka lakukan. Apresiasi atau pujian menurut saya penting untuk membangun persepsi anak akan hal mana yang baik untuk dilakukan. Di dunia luar nanti, pelukan dan apresiasi Bunda akan selalu dibutuhkan.
Tapi Masa Harus Diingatkan Teruuus?
Ya iyaaa… Ingatkan terus Bun, beribu kali pun tak mengapa… Bukankah Nabi Nuh pun tak lelah mengingatkan anaknya hingga tersapu air bah? Karena anak-anak memang ujian untuk orang tuanya. Semoga Allah memudahkan kita dalam perjalanan pengasuhan ini untuk mendidik generasi muslim masa depan.
Setelah membahas landasan HS muslim sebelumnya, kini kita berlanjut pada landasan pendidikan rumah nomor 6 yang diambil dari surat Lukman ayat 17. Ayat ini berisi pentingnya shalat, amar ma’ruf nahi mungkar, dan perintah untuk bersabar jika mengalami gangguan atau musibah.
***ditulis oleh Mierza Miranti – klastulistiwa.com***
Asy Syaukani rahimahullah menyebutkan bahwa tiga ibadah ini adalah induknya ibadah dan landasan seluruh kebaikan. (Fathul Qodir, 5: 489). Sebagaimana pula yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya:
“Dirikanlah shalat lengkap dengan batasan-batasan, fardhu-fardhu, dan waktu-waktunya. Perintahkanlah yang baik dan cegahlah yang munkar sesuai kemampuan dan jerih payahmu. Karena untuk merealisasikan amar ma’ruf dan nahi munkar, pelakunya pasti akan mendapat gangguan dari orang lain. Oleh karena itu, dalam pesan selanjutnya Luqman memerintahkan kepada putranya untuk bersabar.”
Kita ulas satu per satu yaaa…. Pertama adalah ini:
Berilmu Sebelum Mendidik
Tentunya kita tidak mau anak-anak belajar hal atau dari orang yang salah. Agar anak-anak bisa berilmu dengan benar mengenai shalat dan amar ma’ruf nahi munkar, maka kita sebagai orang tua perlu berilmu. Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,
“Barangsiapa yang beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka ia akan membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan banyak kebaikan.”
“Mengikat Ilmu Dengan Tulisan” (Doc Pribadi)
Mendidik Tentang Shalat
Ilmu melakukan shalat yang benar sebagai ibadah perlu diberikan sejak dini, justru sebelum anak diperintahkan shalat. Mengajari anak rukun-rukun shalat, misalnya, akan membuat anak tahu bahwa jika rukun ini tidak dilakukan, maka shalatnya tidak sah. Perintah shalat itu datang pada usia 7 tahun sedangkan memukul anak yang tidak shalat itu ada pada usia 10 tahun. Ada jarak 3 tahun untuk membiasakan shalat di awal waktu (dan di masjid bagi anak laki-laki), bukan? Jika waktu yang tidak sebentar ini dimanfaatkan, maka sebenarnya tidak akan ada pukulan, insya Allah.
Mendidik Shalat Sebelum Usia 7 Tahun?
Memang anak belum diperintahkan shalat sebelum usia 7 tahun. Tapi, inilah masa keemasan tuntuk memberikan keteladanan, ajakan, dan ilmu yang akan dipakainya seumur hidup ini. Cara terjitu adalah doa di waktu-waktu mustajab agar Allah yang langsung menggerakkan hati mereka.
Mosqueschooling Komunitas Homeschooling
Selain itu, untuk menumbuhkan cinta dalam beribadah kepada Rabb-nya bisa dilakukan melalui kisah-kisah shahih. Kenalkan pula nash-nash mengenai keutamaan shalat, misalnya hadits shalat fajr yg lebih utama dr seisi dunia, untuk menyentuhkan rahmat Allah yang luas kepada anak. Menumbuhkan cinta juga bisa dengan reward, tapi pastikan mengiringi dengan ilmu diin, agar tdk terjerumus ke dalam hedonisme. Jangan termakan dengan ide ‘reward is bribing‘ (imbalan adalah menyuap) dari ilmu-ilmu parenting masa kini. Noooo… ulama dan generasih shalih terdahulu telah lama melakukan ini dalam mendidik generasi Islam terbaik dan telah terbukti hasilnya. Asal ingat: memberi imbalan pun perlu diin ilmu diin yang cukup.
Berikutnya adalah pembiasaan bangun pagi yang bisa dilakukan saat usia dini. Untuk anak laki-laki bisa mulai diajak ke masjid, sambil mengingatkan mereka tentang adab di masjid. INGAT: JANGAN DITINGGAL! Karena ada hak jamaah lain yang harus dipenuhi dan adab yang harus diajarkan. Sementara itu, anak perempuan diajarkan keutamaan shalat di rumah. Jamaah bisa dilakukan bersama ibu atau saat shalat sunnah bersama ayahnya. Masya Allah, tenyata inilah hikmah hadits shalat sunnah di rumah kecuali shalat wajib.
Selanjutnya adalh tentang ajakan yang positif. Kalimat seperti “Adik mau shalat?” insyaAllah akan menanamkan keinginan dan doa. Hindari kata pilihan NEGATIF seperti “Adik mau shalat, NGGAK?” Bagaimana jika mereka memilih tidak mau shalat? Hindari mengiyakan ketidak mauannya (meskipunidak boleh memaksakannya ya). Coba ucapkan kata-kata ekspektasi seperti “Oh, adik mau ikut shalat berikutnya ya” misalnya. Meski bisa jadi berikutnya kejadiannya sama, tapi lagi-lagi kata-kata orang tua bisa menjadi doa yang mustajab.
Dan terakhir, mengenai pemberian teladan. Hal ini tidak cukup dengan mencontohkan, tapi juga memerlukan komunikasi yang baik, ceria, dan tanpa beban. Contohnya saat adzan, ucapkan “Wah, adzan. Wudhu yuk. Ke masjid yuk.” dan yang semacamnya. Begitu pula saat safar. Sebisa mungkin yang dicari pertama kali adalah lokasi masjid atau musholla. Insya Allah keteladanan dan pembiasaan ini akan menumbuhkan cinta.
Mendidik Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Menjalani Dengan Kesabaran
Tentunya hal ini pun memerlukan ilmu. Salah satunya adalah ilmu melakukannya dengan sikap lembut, seperti sabda Rasulullullah dalam hadits riwayat Muslim no. 2594.
“Sesungguhnya jika lemah lembut itu ada dalam sesuatu, maka ia akan senantiasa menghiasanya. Jika kelembutan itu hilang, maka pastilah hanya akan mendatangkan kejelekan.”
Selain itu juga ada hadits mengenai memberikan nasihat secara diam-diam dan beberapa ilmu lain yang mengiringi tindakan amar ma’ruf nahi munkar ini. Karena itu, mendampingi anak ketika mengamalkan menjadi hal yang sangat baik.
Membersamai anak menjadi penting karena hal ini insyaAllah dapat membentuk kesabaran mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, Mawqi’ Al Islam, mengatakan,
“Setiap orang yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar pastilah mendapat rintangan. Oleh karena itu, jika seseorang tidak bersabar, maka hanya akan membawa dampak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.”
“Pagi Hari 1 Januari 2016 M Saat Menyisir Sampah Tahun Baru di Taman Kota Bersama Komunitas HS Muslim” (Dok. Pribadi)
Kesabaran ini tidak semudah mengucapkannya. Kita pun sebagai orang dewasa sulit melakukannya, apalagi anak-anak. Karena itu membersamai anak dan mengingatkan mereka mengenai kesabaran setelah melakukan amal ma’ruf nahi munkar itu adalah pilihan yang tepat. Selama kita ada, akan ada bahu bagi mereka untuk tempat bersandar dan tangan kita untuk memeluk. Akan ada tepukan kita di dada mereka untuk memberi semangat dan senyuman untuk menguatkan. Jadi, hadirkan diri hingga mereka bisa menguatkan diri sendiri dan bersabar dengan gangguan.
Jangan takut dengan stempel, “Anak nempel”, “Ga berani lepas”, atau yang semacamnya. Bukankah Ibnu Abbas mendapatkan nasihat berharga saat dibonceng Rasulullah? Insya Allah akan ada saatnya anak akan mengepakkan sayap dengan lebih berani, dengan cara yang benar dan lebih sabar.
Sila klik tautan untuk landasan pendidikan rumah yang lainnya:
Fondasi terpenting yang membuat kami memilih homeschooling adalah menerapkan pentingnya birrul walidain. Banyak nasihat yang dulu belum kami terapkan. Contohnya saja, sikap-sikap seperti memotong ucapan orang tua, mendahulukan dunia daripada orang tua, hingga memamerkan pengetahuan di hadapan orang tua sebelum diijinkan yang dulu saya anggap sebagai ‘sikap aktif, lucu, berani, dan menggemaskan’. Ah… ternyata saya… salah. 😦
Tergugah Sebuah Kisah
Adalah kisah Haiwah bin Syarih yang menyadarkan saya tentang hal ini. Beliau, seorang imam kaum muslimin, sedang duduk dalam majelis untuk mengajarkan ilmu. Lalu, beliau BERANJAK MENINGGALKAN MAJELIS untuk menuruti ibunya yang memanggil, “Berdirilah wahai Haiwah, beri makan ayam-ayam itu!”
Bayangkan. Sebuah majelis! Di hadapan murid-muridnya, beliau memilih menuruti ibunya untuk memberi makan ayam!
“Ah, anak jaman sekarang mah mana maaau!” mungkin begitu tanggapan kita. Kiiitaaa? Saya aja kali. Sikap saya dulu begitu karena belum tahu bahwa kita bisa menanamkan kepada Anak-anak adab-adab dan akhlak mulia ini. Bisa, insya Allah, setelah memahami urgensi serta cara menanamkannya.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14).
Yang dimaksud ihsan dalam ayat di atas yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya. Menurut Ibnu ‘Athiyah, kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan syari’at), dan harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang (selama tidak melanggar batasan-batasan Allah ‘Azza wa Jalla).
Sedangkan ‘uququl walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan berupa perkataan, yaitu mengucapkan “ah” atau “cis”, berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci maki dan lain-lain. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar, seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan, tidak bersilaturrahim, atau tidak memberi nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin. (Sumber)
Penanaman Konkret Adab Kepada Orang Tua
Ada beberapa cara yang kami coba terapkan setelah menerima ilmu ini. Penuh ups and down tentunya. Tapi, alhamdulillah. Setelah setahun menerapkannya dalam pendidikan rumah, kami melihat banyak sekali perubahan nyata dalam sikap anak-anak. Berikut beberapa di antaranya:
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya” [Al-Isra : 23]
Pertanyaannya: apakah hal ini bisa ditanamkan semenjak kecil? Ya, insyaAllah bisa. Dengan membedakan suara saat berbicara dengan teman dan orang tua. Dan ketika anak meninggikan suara saat berbicara, sebaiknya kita yang tenang. Minta ia mengulang dengan tone yang lebih rendah.
“Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, “Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil” [Al-Isra : 24]
Ini bisa kita terapkan ketika anak melewati tahap egosentrisnya. Sekiranya usia 7 tahun. Misalkan, ketika anak mendapatkan keberhasilan, kita selalu menisbatkannya kepada Allah. Tentu kita memberikan apresiasi, namun jangan lupa mengucapkan MasyaAllah dan Barakallahu fiik. Bacakan kisah-kisah shahih penggugah jiwa sebagai contoh akhlak yang baik seperti ini. Selanjutnya, terus mengingatkan mereka untuk melakukannya.
3. Tidak Mendahului Dalam Berkata
Dalam pendidikan sekarang ini, terdapat sebuah pendapat bahwa anak yang ‘berani mengemukakan pendapat’ di hadapan orang yang lebih tua adalah hal yang baik. Bahkan, sikap seperti itu dianggap kritis. Oh, yaaa… dulu saya juga menganggap begitu karena ketidak tahuan saya. Hingga saya menemukan sebuah riwayat mengenai Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu dalam menerapkan adab ini.
“kami pernah bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di Jummar, kemudian Nabi bersabda: ‘Ada sebuah pohon yang ia merupakan permisalan seorang Muslim’. Ibnu Umar berkata: ‘sebetulnya aku ingin menjawab: pohon kurma. Namun karena ia yang paling muda di sini maka aku diam’. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun memberi tahu jawabannya (kepada orang-orang): ‘ia adalah pohon kurma’” (HR. Al Bukhari 82, Muslim 2811).
Umar saat itu tahu jawabannya. Tapi, apa yang ia lakukan? DIAM. He didn’t take the moment (to show-off). Dan itu: adab.
Kita bisa memahamkan ini kepada anak-anak, insyaAllah. Saat mereka seperti akan menyela pembicaraan, kita bisa meminta mereka menunggu sampai kita selesai berbicara lalu tanyakan “Tadi kamu mau bicara apa, Sayang?”
Jika sudah terbiasa dengan adab ini, insyaAllah kita cukup mengingatkan mereka dengan isyarat, tanpa bicara. Oh ya… pastikan kita juga melakukan hal yang sama agar menjadi contoh adab bagi anak-anak kita. 🙂
4. Mendoakan Kedua Orang Tua
Dalam ayat 24 surat Al Isra di atas juga disebutkan adab untuk mendoakan kedua orang tua. Membiasakan anak untuk melakukannya di saat-saat doa diijabah atau saat kita terhimpit kesulitan insya Allah akan membuat anak terbiasa melakukannya. Semoga kita juga tidak lalai mendoakan orang tua agar menjadi contoh bagi anak-anak yaaa.
5. Mencium Tangan Orang Tua
Membiasakan anak dan diri mencium tangan orang tua adalah bentuk penghormatan dan kasih sayang. Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan kasih sayang yang terjalin antara Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan putrinya; Fathimah radhiyallahu’anha,
“Bahwa Fatimah bila berkunjung kepada Nabi shallallahu’alaihiwasallam, maka beliaupun berdiri menghampirinya dan menciumnya lalu mempersilahkannya untuk duduk di tempat duduknya. Dan Nabi shallallahu’alaihiwasallam apabila mengunjunginya, Fatimah juga bangkit dari tempat duduknya lalu menciumnya serta mempersilahkannya untuk duduk di tempat duduknya”. HR. Tirmidzy dan dinilai sahih oleh al-Hakim juga adz-Dzahaby.
Sebenarnya, masih banyak adab-adab dan akhlak mulia lain yang diajarkan seperti membantu meringankan pekerjaan mereka, tidak memanggil orang tua dengan namanya, menjaga nama baik orang tua, memuliakan kerabat dan teman mereka, memberi nafkah pada mereka bila mampu, menziarahi makamnya bila telah wafat, dan masih banyak adab yang lainnya. Semoga dimudahkan untuk meneruskannya dalam tulisan berikutnya sebagaimana tulisan ini adalah lanjutan seri sebelumnya. Semoga bermanfaat.
Konyol. Itu yang ada dalam pikiran saya ketika membaca berita tentang gagalnya program boneka untuk mencegah kehamilan remaja di US ini.
Ya, gimana nggak konyol. Akarnya yang penting dalam mendidik anak remaja aja ga diberantas.
Mendidik Anak Remaja
Selama para remaja itu terpapar oleh setiap LAGU, ACARA TV, FILM, hingga IKLAN (ow yes, even your tv cables, sodara2) yang mengekspoitasi seksualitas, mau program mendidik anak remaja semahal apapun juga ga mempan. Seksualitas adalah barang dagangan yang laku. Tinggal dipoles cantik lalu dipromosikan dengan cantik kepada anak-anak KEMANAPUN di muka bumi ini, SELAMA ADA MEDIA. Media ini mengajari anak-anak kita harus pakai baju apa, punya apa, sampe social dan relationship goals!
Keren kan? -_-
.
Jadi, masihkah kita (orang tua) dengan pede mengirim anak-anak ke mall, bioskop, acara sekolah, tetangga, dan rumah teman tanpa supervisi?
.
Yuuuhuuu… banyak sudah penelitian yang menunjukkan otak usia remaja ini belum terbentuk sempurna untuk mengambil pilihan yang tepat (apalagi kalau orang tuanya tidak mengajari). Terus, kita tega-teganya menempatkan mereka dalam situasi dimana sulit sekali untuk berkata tidak, gitu?
.
Ah, mari ingatkan diri untuk memproteksi anak-anak kita meski mereka sudah remaja. Mendidik mereka mengambil pilihan sehat. Tidak lepas begitu aja karena pengasuhan tidak seperti Wajib Belajar 9 Tahun.
.
Bukankah Rasulullah terus mendidik anaknya meski sudah menikah bahkan cucunya? Ow yes… karena pengasuhan berlangsung seumur hidup. Kita masih berlabel orang tua.
Since, unfortunately, society has forgotten parents the need to protect teens from themselves.
Kadang-kadang, orang tua (sayaa Buuu maksudnya) suka merasa bingung dalam mencari cara membimbing anak bertanggung jawab. Eh, ternyata… resep orangtua jaman dulu masih dipake looh jaman sekarang. Caranya yaaaa dengan membuat mereka tahu kalau mereka dibutuhkan dan memberikan kontribusi kepada sekitarnya. Apa ituu? Ajak ngepel bersama alias melakukan pekerjaan rumah tangga (silahkan tepuk tangan buibu).
Teganya kau, Mak. Iyes. InsyaAllah ketegaan ini menumbuhkan bibit-bibit tanggung jawab ketika mereka dewasa. Itu tujuannya.
Membimbing Anak Bertanggung Jawab Pake Ngepel? Gak Ilmiah, Ih!
Eiiit.. siapa itu yang bilang ga ilmiah, hah? Sini temuin ane. Kita ngeteh bareng maksudnya.
Nih yaaa… udah banyaaak penelitian tentang ini. Salah satunya dilakukan oleh Roger W. McIntire, professor di bidang psikologi Universitas Maryland yang juga penulis buku Raising Good Kids in Tough Times. Beliau nih yang mengatakan bahwa seorang anak harus memiliki beberapa tanggung jawab. Tapiiii….. ada caranya yaaah dalam membimbing anak bertanggung jawab melalui pekerjaan rumah. Ihik.. jangan seperti saya yang sempat melakukan kesalahan dalam ‘mengajak’ anak. Karena itu, pastikan beberapa hal yang merusak proses dan cara membimbing anak bertanggung jawab ini dijauhi. Inget yaaa.. DIJAUHI (daripada nyesel ga berkesudahan seperti saya huhuuuuu).
Berikut Tips-Tips yang Bisa Dilakukan Agar Terhindar Dari Kesalahan
Jangan menuntut kesempurnaan. Lha, pan udah tahu kalau tidak ada yang sempurna. So, slow down, Beibeh. Santai aja saat mengajak anak dan biarkan mereka lakukan yang terbaik VERSI MEREKA. Jika di tengah-tengah Anda ambil alih, weleh, siap-siap aja menghancurkan semua proses pendidikan ini.
Mulai dari anak berusia 2 tahun. “WHAAAAT??? YOU DON’T SAY…” Mengkin begitu jawaban Anda. Hmmm… kita mungkin berpikir anak kita terlalu muda. Tapi mereka sebenarnya lebih mampu daripada yang kita pikirkan. We just underestimate them. Pilih dan sesuaikan beberapa pekerjaan rumah dengan usia mereka. Gambar di bawah ini bisa jadi referensinya.
Segera. Jangan pelit. Jangan tunggu sampai tugas selesai. Dan untuk Muslim, ucapkan MasyaAllah atau Barakallahu fiik untuk menisbatkan kemampuan mereka kepada kemudahan yang diberikan Allah. Memuji dan mendorong anak ketika tugas berlangsung akan membangun momentum positif, terutama pada anak-anak balita.
Konsisten! Kenapa? Karena anak-anak akan melihat pola. Jika tidak konsisten, maka selanjutnya bisa ditebak, hehe… mereka akan menganggap kita tidak serius. Mereka akan menanti orang lain untuk melakukan pekerjaan itu daaan bisa jadi menciptakan ‘tantrum’ sebagai senjata termuktahir mereka huahahaha.
Berikan instruksi yang spesifik. Perintah seperti, “Rapikan tempat tidur” itu tidak begitu jelas dan dapat ditafsirkan dalam berbagai cara. Sebaliknya, kalimat eksplisit seperti, “Atur bantal di ujung sini (sambil menunjuk). Guling sebelah sini. Ujung sprei dimasukan seperti ini ya (beri contoh jika belum tahu).” Kalau masih salah tafsir lagi, itu salah kitaaaa bukan bocah-bocah unyu ituuu. Coba deh cari kalimat yang lebih cocok dan sederhana.
Step-By-Step. Pertama, tunjukkan kepada mereka bagaimana melakukan tugas langkah demi langkah. Selanjutnya, ajak anak membantu kita melakukannya. Kemudian, biarkan anak melakukan tugas dalam pengawasan kita. Setelah anak menguasai skill yang dibutuhkan, yup, mereka bisa melakukannya secara mandiri. Tanpa disuruh. Serius!
Berikan reward (dengan sangat hati-hati). Mengapa hati-hati? Karena anak harus menyadari bahwa mereka melakukan hal ini untuk masa depan mereka. Jadi, sebisa mungkin jangan berikan uang untuk hal-hal seperti ini. Adapun reward yang saya maksud adalah sesuatu yang sederhana. Sesederhana boleh memilih satu jenis jajanan di minimarket. Jika melibatkan uang, dikhawatirkan bahwa hal itu akan menjadi fokus mereka. Padahal melakukan pekerjaan rumah tangga adalah bagian dari pendidikan tanggung jawab dan tentang belajar mengenai tugas rumah tangga. Memang benar, anak-anak perlu belajar bagaimana mendapatkan uang, tetapi tidak dengan melakukan tugas-tugas yang seharusnya mereka lakukan. Anak-anak bisa ‘mendapatkan’ uang dari hal-hal lain di luar ‘pekerjaan wajib’, seperti membersihkan halaman tetangga, membersihkan mobil kantor ayahnya merawat kucing peliharaan saudara yang bepergian ke luar kota, menjual slime buatan sendiri, atau semacamnya. Karena jika dibiasakan, semakin besar anak yang diberi upah akan menjadi semakin kurang termotivasi oleh uang dan hanya memilih untuk tidak melakukannya.
Begitu ceritanya. Dan, apakah kami masih melakukan pola ini dalam kehidupan homeschooling kami? Tentu saja. Sampai saat inikami masih menikmatina (emaknya terutama hehehehe). Semoga kita semua terus dimudahkan membimbing anak bertanggung jawab baik melalui ngepel bersama atau apapun itu namanya yaaa. Semangat! ^_^
Betapa mudahkah seorang anak dilabel ‘pemalu’, hanya karena memilih tidak berebut kue saat istirahat seperti teman-temannya? Tapi kurangnya ilmu membuat ibu itu pun hanya tersenyum malu. Malu punya anak pemalu.
Ah, andai saja dulu Ibu itu tahu bahwa rasa malu adalah akhlak Islam yang terpuji. Malu yang ditunjukkan anaknya bukanlah malu yang tercela, seperti malu menuntut ilmu syar’i, mengaji, amar ma’ruf nahi munkar, melakukan kewajiban seorang Muslim, dan yang semisalnya.
Andai Ibu itu dulu tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq ‘alaihi]
Andai Ibu itu tahu bahwa buah dari rasa malu adalah iffah atau menjaga kehormatan. Hal yang sangat sulit ditemukan di jaman penuh fitnah ini.Bahwa memiliki malu bukan suatu kesalahan.
Bukankah di dunia yang berisik ini, kita memerlukan manusia yang mampu menjadi pendengar yang penuh perhatian? Tidakkah kita pernah menemukan seorang pribadi yang begitu diterima bahkan tanpa mengucapkan sepatah kata?
Ibu… Tidak perlu meminta maaf kepada orang lain hanya karena memiliki ‘anak pemalu’. Jangan pula mengucapkannya di hadapan intanmu yang berharga itu. Tidak ada yang salah dan banyak alasan tepat untuk menjadi pemalu.
Andai Ibu itu tahu bahwa anak yang pemalu tidak selalu berarti menderita citra diri yang buruk. Ah… alangkah tidak adilnya. Banyak anak-anak pemalu yang memiliki konsep diri yang kuat. Mereka bersinar dari dalam – jika saja para orang tua itu lebih sabar.
Andai dulu Ibu itu tahu bahwa ia tidak perlu khawatir jika anaknya tutup mulut di tengah orang banyak. Bahwa selama anaknya masih bisa melakukan kontak mata, sopan, menurut, dan bahagia – namun hanya diam – itu membuat nyaman orang-orang di sekitarnya.
Andai Ibu itu dulu tahu bahwa anak-anak ‘pemalu’-nya lebih dalam berpikir, menyeluruh dalam mengamati, dan sangat berhati-hati. Mereka hanya seperti mesin diesel – memerlukan waktu tambahan untuk untuk pemanasan ketika bertemu orang baru.
Bersyukurlah, Ibu, jika anakmu hanya merasa malu – bukan menarik diri. Bukan bersembunyi dari kemarahan dan ketakutan. Bukankah kau tidak pernah mengancam atau menakutinya? Jika tidak, maka tenanglah. Anakmu hanya memilih menjadi mereka yang bersorak dalam pawai dan dipercaya untuk melambaikan bendera.
Namun, pelajarilah Ibu…. Jangan sampai label pemalu ini digunakan untuk tidak mau berteman dengan anak-anak lainnya. Jangan sampai label ‘pemalu’ ini digunakan sebagai pertahanan untuk tidak berusaha lebih keras dan tinggal di zona nyaman.
Jika kau menemukan demikian maka perkuatlah rasa percaya diri mereka. Anak ini hanya membutuhkan orang tua dapat ia percaya, yang mendisiplinkan dengan cara yang benar dan lembut. Mendidik tanpa menimbulkan kemarahan dan kebencian.
Ibu, bersyukurlah dengan akhlak anakmu. Ia diberkati dengan sifat yang sensitif, sangat peduli, dan lebih berhati-hati. Peluklah anakmu dan jadikan dunia menjadi tempat yang lebih lembut dan menyenangkan. Ciptakan lingkungan yang nyaman yang memungkinkan kepribadian sosialnya berkembang secara alami.
Tidak Ibu.. jangan ikut mengatainya dengan cap anak “pemalu”. Jika mendengarnya, ia bisa merasa ada sesuatu yang salah dengan dirinya, dan ini akan membuatnya merasa lebih malu. Memanggilnya “pemalu” bisa membuatnya lebih cemas, seolah-olah ada sesuatu yang mereka harus lakukan untuk “membantu” atau memperbaikinya.
Dukunglah dengan cara memberitahu apa yang harus ia lakukan ketika mengunjungi saudara atau tempat yang baru. Hindari godaan untuk mengatakan, “Jangan diem aja ya, disana.” Karena itu akan menjamin dia bungkam.
Beritahu ia apa yang diharapkan. Dari ucapan “Salim Pakde, ya.” sampai perilaku sopan lainnya. Tidak mengapa jika ia ingin membawa salah satu mainan favoritnya, seperti lego atau puzzle, yang bisa menjadi jembatan untuk komunikasi dengan sekitarnya.
Ibu, jika anakmu diminta tampil di hadapan umum, mintakan dulu izinnya. Jangan gunakan kekuasaan orang dewasa. Hormati tingkat kenyamanannya. Bukankah ada manusia yang lebih memilih untuk menjadi penonton?
Bantulah anakmu dengan berbicara lebih sedikit. Beri kepercayaan untuk melakukan apa yang bisa ia lakukan. Mintalah ia untuk menjawab langsung pertanyaan orang lain, tanpa Ibu menggantikan jadi mesin penjawabnya. Sungguh ini akan sangat membantunya. Lalu, berilah ia pujian ketika berhasil membangun komunikasi dengan sekitarnya.
…
Ibu, setahun sudah waktu berlalu sejak kau putuskan mendidik anak itu sendiri. Kau memilih untuk selalu bersama 24 jam sehari, belajar bersamanya, melatihnya, berusaha menjadi teladan untuknya. Satu inginmu waktu memilih keputusan melelahkan itu: agar bisa lebih sering memeluknya.
Lihatlah, kini ia tumbuh lebih percaya diri. Dengan kesantunannya, ia tetap bersinar di tengah keramaian. Dengan kehati-hatiannya, ia memberi jeda terhadap semua jawaban yang akan dilontarkan agar bisa berterima. Dalam diamnya, dia menyerap apa yang kau tanamkan setiap harinya. Melalui tenan gnya, dia menunjukan cintanya.
Semua kesabaran ini memang tidak mudah. Cermin ini saksinya.
Jazzakillah khairan telah bersabar dengan Ibumu, yaa bunayya.
Ilmu sebelum amal. Seorang (Muslim) perlu mempelajari hal yang diperlukan sebelum berbuat dan mengambil keputusan, bukan? Demikian pula sebelum mengambil keputusan homeschooling atau sekolah.
Kajian kitab-kitab parenting* yang saya ikuti sebelumnya membuka cakrawala saya untuk bisa meluruskan praktek Homeschooling yang sudah berjalan tanpa landasan ilmu Diin yang cukup. Kajian-kajian itu menjadi landasan mengenai cara mendidik anak-anak Muslim berdasarkan aqidah yang shahih, kecerdasan emosional, serta adab yang ditunjukkan kepada Rabb, manusia, dan makhluk sekitarnya.
Bab-bab pengasuhan dalam kitab-kitab Islam ini sangat menyeluruh, mendalam, dan aplikatif. Kita akan tahu bahwa kita akan tiba di akhir-akhir pembahasan jika sudah menyentuh bagian ‘punishment’. Ya, hukuman – yang sebenarnya tidak seseram penerjemahannya.
Dan sebagai pengingat, peran saya di sini yaitu sebagai praktisi. Ya, praktisi pengasuhan anak. :) Jadi, mari belajar bersama.
KEUTAMAAN MENDIDIK ANAK DAN BERSABAR DENGAN PROSESNYA
– Mierza Miranti –
Mendidik anak adalah anugerah terbesar bagi seorang manusia. Anugerah ini memberikan kesempatan kepada orang tua untuk meraih amal-amal yang paling mulia. Ya, mulia dan bahagia dunia akhirat, insyaAllah. Tentu dengan syarat apabila amalan-amalan mendidik anak ini dijalani dengan ikhlas karena Allah dalam mengarahkan anak-anaknya kepada agama, akhlaq, dan pengajaran yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari no. 2942 dan Muslim no. 2406, dari Sahl bin Sa’ad)
Bahagiakah kita sebagai orang tua jika ternyata SATU ORANG yang diberi petunjuk oleh Allah itu adalah anak-anak kita sendiri? Yang mana kita tahu bahwa mereka adalah SALAH SATU dari tiga perkara yang masih menyalurkan amalan meski setelah kita meninggal?
Sebagaimana hadits yang mahsyur dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau DOÁ ANAK YANG SHOLEH” (HR. Muslim no. 1631)
Pertanyaan berikutnya? Apakah anak yang sholeh itu sesuatu yang instan didapatkan sekeluarnya anak dari rahim sang Ibu? Apakah anak yang kita berikan segala yang ia mau akan menjadikannya anak yang Shalih? Apakah anak yang kita biarkan begitu saja sehingga dia akan terekspos dengan banyak hal dari kebenaran hingga penyimpangan dalam hidupnya akan menjadi anak yang shalih? Takutkah kita akan laporan pertanggung jawaban di hadapan Allah jika mengesampingkan kewajiban mendidik anak dengan sumber yang shahih?
Bukankah Rasulullah bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ِ
“Masing-masing kalian adalah pengembala, dan masing-masing kalian bertanggung jawab atas pengembalanya” (Muttafaqun’alaih)
Ya, kita adalah penggembala yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak kita. Kita tahu bahwa perjalanan mendidik itu tidak terjadi dalam hitungan hari. Kita juga tahu bahwa tenaga dan pikiran kita diperas untuk terus bergerak dan mendidik sementara harus menyelesaikan hal yang lain.
Kita lelah.
Kita pernah dan akan menghadapi hari-hari penuh tantangan yang memerlukan stok kesabaran yang (seharusnya) tidak pernah habis.
Sabar. Ya, sabar.
Sabar dalam mendidik anak, sayangnya, bukan hanya melihat anak-anak melakukan hal yang secara adaab tidak berterima, lalu kita kita hanya berucap, “Ah, masih anak-anak” – tanpa melakukan apapun.
Atau, pernah tahu kan ucapan yang mahsyur dari orang marah, ketika seseorang melihat sesuatu yang menguji kesabaran dan ia berkata, “Habis sudah kesabaranku!”
Ah, tidak, bukan itu. Sabar itu tidak pernah selesai seperti sinetron atau novel.
Bukankah kita tahu, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqoroh : 153).
Islam mengajarkan Muslim untuk Sabar dalam 3 perkara *:
1. Menahan jiwa dalam menaati Allah
2. Menahan jiwa dari menjauhi kemaksiatan kepada Allah
3. Menahan jiwa dalam takdir Allah yang menimpa diri meski itu sangat menyakitkan dan menyusahkan.
Jadi, bersabarlah dengan pilihan pengasuhan yang kita ketahui shahih dengan segala konsekuensinya. Misalnya, ketika kita mendidik anak untuk berkata jujur sebagai bagian dari ketaatan, maka bersabarlah dalam mendidik mereka.
Mintalah kepada Allah kemudahan agar akhlaq jujur itu bisa kita contohkan, dalam segala situasi sesulit apapun, karena kita tahu berbohong adalah bermaksiat kepada Allah. Bersabarlah belajar dan terus belajar mencarai cara agar akhlaq ini kuat terpatri dalam jiwa anak.
Dan sabarlah, jika ternyata kita diuji dengan kenyataan bahwa anak-anak pernah berbohong dengan memberi hukuman terlemah dalam Islam yaitu menasehati. Ya, memberi nasihat adalah hukuman teringan yang bisa kita berikan.
Ingatlah bahwa setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,
”مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه”
Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku jujur, insyaAllah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu.
Saat raga dan hati mulai lelah mendidik, ingatlah….
Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk mengukir di atas batu, namun ukiran terbaik akan indah, awet, dan tahan lama.
Semoga ini menjadi nasihat, terutama bagi diri saya sendiri. Semoga kita semua dimudahkan Allah dalam mengasuh generasi-generasi berikutnya.
Catatan:
*Kitab-kitab parenting yang dimaksud dan telah saya pelajari dalam kajian bersama ulama adalah Al-Jâmi’ fi Ahkâm wa Âdâb Ash-Shibyan (Abu ‘Abdillah ‘Âdil bin Abdillâh Âlu Hamdân Al-Ghâmidi), serta Nida’ Ila Murobbiyin wal Murobbiyat dan Kayfa Nurabbi Auladana (Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahumahullah).
Homeschooling itu memang bukan cerita yang selalu indah. Terlibat banyak guru kesabaran di dalamnya.
Saya yang seorang ibu, seorang muslim, seorang pengajar (atau memilihkan pengajar) anak-anaknya sendiri , tidak hanya menyampaikan ilmu. Tapi juga mendidik adab, ilmu, dan menerapkannya.
Beuh… berat yaaa? Terutama pas bagian ‘menerapkannya’.
Begini mungkin ilustrasi, eh, kenyataannya….
PAS JAMAN NYEKOLAHIN: Gampang… titip aja di sekolah Islam, di TPA. Anak pinter agama dan jadi hafidz(ah). Kita cari uang… atau paling nggak, kita ngajar aja (saya guru Bahasa Inggris dulu) di tempat anak belajar. Kita? Hafalan? Ke majelis ilmu? Belajar? Halah… mana sempet. Cari uang, Bro!
PAS JAMAN HOMSKULINGIN: Bahasa Arab? Gampaaang, ada aplikasi. Tahfiz, tuuuh deket rumah ada rumah tahfiz. Ane? Hafalan? Bentar… ng.. ini cucian belum kelar. (Dan blass sampai keesokan harinya) Kajian ke madjid? Temanya apa? Tar browsing aja.
,
Ng… iya. Itu saya dulu. Masih ada residunya sih.. semoga istiqomah menghilangkannya.
Nah, dalam sebuah majelis rutin yang membahas salah satu kitab parenting Islam dari jaami’ul ahkam fii adab al shibyan, saya ditampar dengan ayat ini (tafsir lengkap dari Ibnu Katsir dan para sahabat bisa dilihat di sini):
Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir? (Q.S. Al Baqoroh: 44)
Saya kopikan beberapa penafsirannya ya….
Maksud dari ayat pertama di atas dari Ibnu Jurairj yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, “Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan,” bahwa orangorang ahli kitab dan orang-orang munafik selalu memerintahkan orang lain untuk melakukan puasa dan salat, tetapi mereka sendiri tidak melakukan apa yang mereka perintahkan kepada orang-orang untuk melakukannya. Maka Allah mengecam perbuatan mereka itu, karena orang yang memerintahkan kepada suatu kebaikan, seharusnya dia adalah orang yang paling getol dalam mengerjakan kebaikan itu dan berada paling depan daripada yang lainnya.
Atau Ad-Dahhak yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu apakah kalian memerintahkan orang lain untuk masuk ke dalam agama Nabi Muhammad Saw. dan lain-lainnya yang diperintahkan kepada kalian untuk melakukannya —seperti mendirikan salat— sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri?’
Iya, saya tertohok sangat di kajian ituuu (emot nangis mana emot nangis?). أستغفر الله . Anak-anak BERHAK mendapat contoh yang baik dari saya. Bukan hanya perilaku baik, tapi juga kebiasaan menuntut ilmu (diin). Betapa sombongnya saya, dengan secuil yang saya miliki (titipan Allah pula!), petantang-petenteng bilang “Saya cari uang aja, ilmu mah belakangan.” Iya kalau dapat waktunya. Lha, kalau pas ‘cari uang’ udah diketok duluan sama malaikat maut, piye? Terzolimi lah hak anak-anak, meski gak sampe KOMNAS HAM, sih.
Jadi, semua mindset yang saya bangun sejak awal tentang mendidik saya bongkar total. SAYA HARUS BELAJAR. MEMBUANG RASA MALU berada di satu majelis: yang bocah udah juz 28 akhir, Ibunya masih terseok2 menghafal juz 30. Pas tanya jawab tentang ilmu Diin, anaknya yang tau duluan. Pas kajian tetiba inget kalau pulang-pulang harus lipet2 (saya anti neriska hehe).
Beraaat memaaang… Tapi ingatlah selalu: “Ilmu tidak akan bisa diraih dengan banyak mengistirahatkan badan.” (Yahya bin Abi Katsir rahimahullah)
Nulis konten buat website parenting kemarin itu ternyata lebih lama dari biasanya. Kaget dengan data2 yang diberikan. Takut karena, bisa jadi, saya adalah salah satunya.
Fenomena Budaya
Data-data yang didapat dari sedikit penelitian, salah satunya dari Shiffrin et al yang berjudul “Helping or Hovering? The Effects of Helicopter Parenting on College Students’ Well-Being“, tersebut menyebutkan bahwa orang tua jaman sekarang lebih banyak yang paranoid atau over-protektif. Fenomena ini disebut orang tua helikopter.
Cirinya?
Sang orang tua selalu ada di sebelah anaknya 24/7 laksana bayangan. Dari kecil, hingga besar. Iyap. Riset tersebut menyebutkan bahwa sekarang orang tua sangat ingin anaknya sukses menurut standar yang diterima. Bahkan banyak yang ikut heboh mendaftarkan anak-anaknya ke perguruan tinggi hingga melamar pekerjaan! Sesuatu yang jarang saya temui di masa lalu saya.
Misinya? Mereka ingin melindungi dan memastikan semuanya sempurna. Kalau kurang, sini tak ambil alih!
Lalu, apa penyebabnya?
Ternyata ya orang tua sendiri. Derasnya informasi tidak dibarengi dengan literasi, semua dilahap, dihayati, dibagi, dipercayai, dan ditakuti diri sendiri. Padahal berada di sekitar anak sebagai CCTV sudah cukup membuat anak aman dan nyaman, karena dilepas juga sama berbahayanya.
Lha ini, semua dicurigai. Dari virus kuku mulut rambut, sampai tukang tahu yang lewat.
Menurut Saya
Jika kita merujuk ke nash-nash shahih, dan menerapkannya, InsyaAllah hati ini tenang. Percaya Allah menjaga melalui perintah dan larangan. Coba lihat semua precautions atau peringatan ( kalau memang kata nasihat dianggap oldschool ) yang diberikan, semua mengandung kebaikan. Tentu yang utama berdoa meminta perlindungan kepada penguasa segala mahluk, Allah Azza wa Jalla.
Jadi…
Sebentar…
Saya ngajak diri sendiri dulu aja, ya. Kuatir tidak cukup ilmu mengajak yang lain untuk bercermin.
Apa saya over protektif dengan tidak percaya bahwa ada Allah yang maha menjaga ciptaan? Apa saya kepedean mengabaikan aturan dan larangan Allah? Jika iya, maka sudah saatnya ngelmu lagi. Belajar menjaga amanah sebagai orangtua. Hayu ah.
Sekarang ini, ‘ilmuwan-ilmuwan’ jaman renaisans hingga modern banyak yang dimunculkan . Mereka terkadang menjadi standar ‘cita-cita’ para penuntut ilmu.
Sayangnya, para idola itu sangat banyak yang mengajarkan hedonisme untuk dijadikan tujuan utama. Bahkan tidak jarang yang memisahkan kehidupan akhirat karena dianggap sebagai beban.
Adalah Allah satu-satunya tempat meminta, termasuk didalamnya memohon agar mendapatkan anak shalih dan shalihah. Salah satu yang bisa dilakukan orang tua adalah mengenalkan ilmuwan- ilmuwan yang menjadi ulama. Mereka yang memilih kekekalan daripada kefanaaan. Bukankah hidup ini adalah penjara bagi orang Mukmin?
🔬Berikut ini adalah tautan dari situs yang bergizi: rumaysho.com yang dikelola oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. Silahkan klik masing-masing nama untuk belajar dari kisah-kisah ahli ilmu Diin.. yang qadarullah awal mulanya adalah seorang ilmuwan.
5. Syaikh Muhammad bin Ismail Al-Muqaddam, lulusan kedokteran dari Universitas Iskandariyah dan juga mengambil kuliah Syariah di Universitas Al-Azhar Mesir.
Semoga Allah memudahkan kita mengamalkan ilmu yang didapat serta melindungi anak-anak kita dari fitnah akhir jaman dan dikuatkan menjadi Al Ghuraba.
Alhamdulillah, akhirnya bisa keluar lagi untuk mengaji setelah melahirkan. Kajian dengan tema “Ibuku, Idolaku” yang disampaikan oleh Ummu Ihsan Choiriyah pada tanggal 27 Maret 2015 ini dimulai pada pukul 08.30. Ehem… dan kami pun datang jam 09.00 – terlambat 30 menit. Maklumlah adaptasi penambahan anggota baru yang mulai ikut kajian pertamanya di usianya yang 19 hari (cari alesan).
Nah, dari paparan ummu Ihsan, saya mendapatkan sejata yang, subhanallah, sangat berguna dalam mendidik anak. Langsung aja ya… Berikut adalah ‘senjata’ yang saya maksud, yaitu 8 METODE PENDIDIKAN ANAK DALAM ISLAM:
METODE KETELADANAN – Yang ini mah sudah jelas. Kalau dalam bahasa Inggris kita tahu peribahasa “Action speaks loder than words”, bukankah Rasulullah adalah suri tauladan yang terbaik seperti yang disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 21: “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang berharap kepada Allah, hari akhir dan bagi orang yang banyak mengingat Allah.” Akhlak dan perilaku beliau layak dijadikan contoh sehingga banyak yang jatuh cinta dengan Islam. Begitu pun ketika kita mengemban amanah sebagai ibu. Keteladanan yang baik sebagai sarana terpenting pendidikan. Karenanya, pastikan sesuai antara perkataan dan perbuatan.
METODE BIMBINGAN DAN NASIHAT – Seperti yang dinasehatkan Lukman kepada anaknya. Berikanlah nasihat dengan kasih sayang. Namanya juga bocah, ya terkadang memang mereka melakukan kesalahan yang sama. Nah, disitulah kesempatan kita untuk mengulang-ulangi nasihat. Tapi, hati-hati, cari waktu bicara yang tepat, karena terlalu sering memberikan nasihat juga bisa membuat anak menjadi jenuh. Selain itu, jangan menasihati ketika kita sedang marah. Gunakan kata-kata yang sesuai serta berbicaralah kepada manusia sesuai dengan waktunya.
METODE KISAH DAN CERITA – Jangankan anak-anak, ibu-ibu aja suka banget dengan metode ini. Kenapa? Karena metode ini dapat memindahkan khayalan dari kisah yang nyata. Dan dibandingkan dengan kisah-kisah dongeng yang entah pemerannya ada atau hanya di bayangan si penutur, kisah-kisah sahabat, thabi’in, atau kisah para nabi akan lebih inspirational karena itu benar-benar terjadi. Nah, pastikan ketika bercerita, sesuaikan dengan umurnya agar bisa dihubungkan dengan kondisi anak, plus berikan apresiasi jika mereka sudah melaksanakan sikap yang diceritakan.
MENGAMBIL PELAJARAN DARI BERBAGAI PERISTIWA DAN KEJADIAN – Peristiwa sehari-hari akan memberikan pengaruh sikap terhadap kehidupannya. Dengan menggunakan peristiwa yang sudah mereka alami, orang tua harus jeli memilih cara menjadikannya sarana bimbingan, pengajaran, dan memperbaiki kesalahan.
METODE PEMBIASAAN – Biasakan anak melakukan kebaikan. Sebab, dengan pembiasaan maka urusan yang banyak akan menjadi mudah, baik urusan agama maupun dunia. Contohnya yang gampang: bangun pagi buat shalat subuh dan membereskan mainan. 😀
PANDAI MEMANFAATKAN WAKTU LUANG – Ingat hadits ini? Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Nabi n bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. [HR Bukhari, no. 5933]. Duh, kita tidak ingin kan anak kita tumbuh sebagai manusia yang tidak bisa memanfaatkan nikmat ini. Bisa rugi dunia dan akhirat nanti…. Makanya, setiap anak sedang memiliki waktu luang, manfaatkan dengan baik. Gali potensinya (yang syar’i dan positif lho, ya) kemudian didukung.
BERIKAN MOTIVASI & APRESIASI BERUPA FASILITAS/ HADIAH – Asal disesuaikan waktunya dan frekuensinya, metode ini akan mengajarkan anak untuk berusaha, insyaAllah.
METODE HUKUMAN YANG SYARI – Kalau di Islam, metode hukuman itu ada, lho… Kalau jaman sekarang disebut dengan konsekuensi (padahal mah sama.. lha wong sebelum ‘dihukum’, dikasih tau ‘konsekuensi’nya di Qur’an/ hadits kok -___-). Oke, fokus! Ehem.. cara menghukum itu tidak dengan fisik lho yaaa… apalagi di wajah. Bisa contohnya dengan mendiamkan, memberi hukuman yang mendidik dan sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan. Tapi ingat, metode ini diambil setelah kita mencoba ketujuh metode di atas semaksimal mungkin. Seperti hadits dari Rasulullah, “Perintakanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika berumur 7 tahun, dan pukullah apabila mereka tidak mau sholat ketika berumur 10 tahun., dan pisahkan tempat-tempat tidur mereka.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Shahih Abi Daud: 509] Lha kan ada 3 TAHUN (dari usia 7 hingga 10 tahun) untuk mendidik sebelum orang tua diperbolehkan ‘memukul’. 3 tahun itu bukan waktu yang sebentar lho untuk mendisiplinkan anak.
Kemudian, sebelum daurah ditutup, Ummu Ihsan melontarkan pertanyaan “Berapa seharusnya kesetimbangan hadiah dan hukuman dalam Islam?”
Now, here’s the answer…
Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya, Allâh tetap menuliskanya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menuliskannya sebagai satu kesalahan.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim dalam kitab Shahiih mereka]
Tuh kaan…. jadi jangan seperti pemadam kebakaran, jika anak berbuat salah baru kita heboh, tapi ketika anak berbuat baik kita diam saja. Hadits tersebut seharusnya membuat orang tua agar selalu ingat untuk memberi apresiasi positif yang lebih besar dari hukuman. Karena hadiah terbaik itu bukan barang, tapi sikap dan apresiasi.
Nah, di sesi pertanyaan, ada satu pertanyaan yang menarik yang membuat saya ingin mencatatnya. Salah satu ibu bertanya tentang kondisi anaknya yang sangat aktif. Hampir semua sekolah Islam kewalahan dan tidak sanggup ‘mendidik’ anaknya dan akhirnya satu sekolah Islam inklusif yang sesuai bujet yang menerima. Tapi dia kuatir karena ‘konten agamanya’ tidak terlalu banyak.
Jawabannya Ummu Ihsan, masyaAllah, sungguh indah… Beliau berujar bahwa orang tua harus terus memberikan yang terbaik. Berarti kondisi tersebut sudah yang terbaik bagi si anak. Kita harus ingat bahwa hidayah itu di tangan Allah. Jangan merasa mentang-mentang kita sudah memilih sekolah yang tepat, anaknya pasti akan sesuai dengan cetakan yang kita mau. Ingatlah Nabi Nuh alaihi salam, putranya tidak memeluk Islam hingga akhir hayatnya dan istrinya pun membangkang. Padahal Ia adalah seorang rasul! Jadi ingat! Kita tidak bisa terlalu menyandarkan kepada usaha kita. Segala usaha harus selalu diiringi doa yang tulus kepada Allah.
Usai daurah, saya merasa banyak peer yang harus saya kejar nih dalam mendidik anak-anak. Banyak ilmu yang tidak saya tahu ternyata… Bismillah… Maka dari itu..saya harus meniatkan diri untuk terus belajar dan mendatangi majelis ilmu. Karena dengan ilmu yang bisa diamalkan membuat kita bisa lebih baik dari sebelumnya, insya Allah. 🙂
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.