Alhamdulillah, akhirnya bisa keluar lagi untuk mengaji setelah melahirkan. Kajian dengan tema “Ibuku, Idolaku” yang disampaikan oleh Ummu Ihsan Choiriyah pada tanggal 27 Maret 2015 ini dimulai pada pukul 08.30. Ehem… dan kami pun datang jam 09.00 – terlambat 30 menit. Maklumlah adaptasi penambahan anggota baru yang mulai ikut kajian pertamanya di usianya yang 19 hari (cari alesan).
Nah, dari paparan ummu Ihsan, saya mendapatkan sejata yang, subhanallah, sangat berguna dalam mendidik anak. Langsung aja ya… Berikut adalah ‘senjata’ yang saya maksud, yaitu 8 METODE PENDIDIKAN ANAK DALAM ISLAM:
- METODE KETELADANAN – Yang ini mah sudah jelas. Kalau dalam bahasa Inggris kita tahu peribahasa “Action speaks loder than words”, bukankah Rasulullah adalah suri tauladan yang terbaik seperti yang disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 21: “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang berharap kepada Allah, hari akhir dan bagi orang yang banyak mengingat Allah.” Akhlak dan perilaku beliau layak dijadikan contoh sehingga banyak yang jatuh cinta dengan Islam. Begitu pun ketika kita mengemban amanah sebagai ibu. Keteladanan yang baik sebagai sarana terpenting pendidikan. Karenanya, pastikan sesuai antara perkataan dan perbuatan.
- METODE BIMBINGAN DAN NASIHAT – Seperti yang dinasehatkan Lukman kepada anaknya. Berikanlah nasihat dengan kasih sayang. Namanya juga bocah, ya terkadang memang mereka melakukan kesalahan yang sama. Nah, disitulah kesempatan kita untuk mengulang-ulangi nasihat. Tapi, hati-hati, cari waktu bicara yang tepat, karena terlalu sering memberikan nasihat juga bisa membuat anak menjadi jenuh. Selain itu, jangan menasihati ketika kita sedang marah. Gunakan kata-kata yang sesuai serta berbicaralah kepada manusia sesuai dengan waktunya.
- METODE KISAH DAN CERITA – Jangankan anak-anak, ibu-ibu aja suka banget dengan metode ini. Kenapa? Karena metode ini dapat memindahkan khayalan dari kisah yang nyata. Dan dibandingkan dengan kisah-kisah dongeng yang entah pemerannya ada atau hanya di bayangan si penutur, kisah-kisah sahabat, thabi’in, atau kisah para nabi akan lebih inspirational karena itu benar-benar terjadi. Nah, pastikan ketika bercerita, sesuaikan dengan umurnya agar bisa dihubungkan dengan kondisi anak, plus berikan apresiasi jika mereka sudah melaksanakan sikap yang diceritakan.
- MENGAMBIL PELAJARAN DARI BERBAGAI PERISTIWA DAN KEJADIAN – Peristiwa sehari-hari akan memberikan pengaruh sikap terhadap kehidupannya. Dengan menggunakan peristiwa yang sudah mereka alami, orang tua harus jeli memilih cara menjadikannya sarana bimbingan, pengajaran, dan memperbaiki kesalahan.
- METODE PEMBIASAAN – Biasakan anak melakukan kebaikan. Sebab, dengan pembiasaan maka urusan yang banyak akan menjadi mudah, baik urusan agama maupun dunia. Contohnya yang gampang: bangun pagi buat shalat subuh dan membereskan mainan. 😀
- PANDAI MEMANFAATKAN WAKTU LUANG – Ingat hadits ini? Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Nabi n bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. [HR Bukhari, no. 5933]. Duh, kita tidak ingin kan anak kita tumbuh sebagai manusia yang tidak bisa memanfaatkan nikmat ini. Bisa rugi dunia dan akhirat nanti…. Makanya, setiap anak sedang memiliki waktu luang, manfaatkan dengan baik. Gali potensinya (yang syar’i dan positif lho, ya) kemudian didukung.
- BERIKAN MOTIVASI & APRESIASI BERUPA FASILITAS/ HADIAH – Asal disesuaikan waktunya dan frekuensinya, metode ini akan mengajarkan anak untuk berusaha, insyaAllah.
- METODE HUKUMAN YANG SYARI – Kalau di Islam, metode hukuman itu ada, lho… Kalau jaman sekarang disebut dengan konsekuensi (padahal mah sama.. lha wong sebelum ‘dihukum’, dikasih tau ‘konsekuensi’nya di Qur’an/ hadits kok -___-). Oke, fokus! Ehem.. cara menghukum itu tidak dengan fisik lho yaaa… apalagi di wajah. Bisa contohnya dengan mendiamkan, memberi hukuman yang mendidik dan sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan. Tapi ingat, metode ini diambil setelah kita mencoba ketujuh metode di atas semaksimal mungkin. Seperti hadits dari Rasulullah, “Perintakanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika berumur 7 tahun, dan pukullah apabila mereka tidak mau sholat ketika berumur 10 tahun., dan pisahkan tempat-tempat tidur mereka.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Shahih Abi Daud: 509] Lha kan ada 3 TAHUN (dari usia 7 hingga 10 tahun) untuk mendidik sebelum orang tua diperbolehkan ‘memukul’. 3 tahun itu bukan waktu yang sebentar lho untuk mendisiplinkan anak.
Kemudian, sebelum daurah ditutup, Ummu Ihsan melontarkan pertanyaan “Berapa seharusnya kesetimbangan hadiah dan hukuman dalam Islam?”
Now, here’s the answer…
Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya, Allâh tetap menuliskanya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menuliskannya sebagai satu kesalahan.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim dalam kitab Shahiih mereka]
Tuh kaan…. jadi jangan seperti pemadam kebakaran, jika anak berbuat salah baru kita heboh, tapi ketika anak berbuat baik kita diam saja. Hadits tersebut seharusnya membuat orang tua agar selalu ingat untuk memberi apresiasi positif yang lebih besar dari hukuman. Karena hadiah terbaik itu bukan barang, tapi sikap dan apresiasi.
Nah, di sesi pertanyaan, ada satu pertanyaan yang menarik yang membuat saya ingin mencatatnya. Salah satu ibu bertanya tentang kondisi anaknya yang sangat aktif. Hampir semua sekolah Islam kewalahan dan tidak sanggup ‘mendidik’ anaknya dan akhirnya satu sekolah Islam inklusif yang sesuai bujet yang menerima. Tapi dia kuatir karena ‘konten agamanya’ tidak terlalu banyak.
Jawabannya Ummu Ihsan, masyaAllah, sungguh indah… Beliau berujar bahwa orang tua harus terus memberikan yang terbaik. Berarti kondisi tersebut sudah yang terbaik bagi si anak. Kita harus ingat bahwa hidayah itu di tangan Allah. Jangan merasa mentang-mentang kita sudah memilih sekolah yang tepat, anaknya pasti akan sesuai dengan cetakan yang kita mau. Ingatlah Nabi Nuh alaihi salam, putranya tidak memeluk Islam hingga akhir hayatnya dan istrinya pun membangkang. Padahal Ia adalah seorang rasul! Jadi ingat! Kita tidak bisa terlalu menyandarkan kepada usaha kita. Segala usaha harus selalu diiringi doa yang tulus kepada Allah.
Usai daurah, saya merasa banyak peer yang harus saya kejar nih dalam mendidik anak-anak. Banyak ilmu yang tidak saya tahu ternyata… Bismillah… Maka dari itu..saya harus meniatkan diri untuk terus belajar dan mendatangi majelis ilmu. Karena dengan ilmu yang bisa diamalkan membuat kita bisa lebih baik dari sebelumnya, insya Allah. 🙂
– Catatan Mierza Miranti – http://www.klastulistiwa.com
Subhanallah,Begitu mulia Agama Ini
SukaSuka
Betul sekali, masyaAllah
SukaSuka