Kategori: My Thoughts
POETRY SLAM DOUBLE STANDARDS: “DO YOU SEE IT” [INDONESIAN TRANSCRIPT]
Maasyaa Allah, dapat video ini dari WAG, langsung tertegun. Video ini sangat powerful dan jujur. Hati saya menderu saat saya menulis ulang transkripnya. Terutama bagian yang saya sengaja tulis kapital, sebagaimana para pembaca berapi-api menyampaikannya.
Honestly, it worths spending your quota to watch it. To feel the power. The beauty. The truth.
Selamat memberi makan jiwa, wahai Jiwa.
“APA KALIAN LIHAT?”
Pada tanggal 17 Juni 2015,
Dylan Roof berjalan masuk ke sebuah kelas Injil.
Duduk dan berdoa diantara jemaah gereja,
Sebelum ia mengeluarkan sejata.
Membunuh semua dan membiarkan satu orang tetap hidup.
Setelah kejadian itu, ia ditemukan dan ditangkap… dengan damai.
Ketika Dylan membunuh
9 orang berkulit hitam yang tidak bersalah….
Kita tidak mempertanyakan Tuhannya.
Dia adalah bagian dari Apartheid Africa,
kita tidak mempertanyakan agamanya.
Dia melakukan kejahatannya sendiri,
kita tidak mempertanyakan ia bagian dari kaum apa.
Ketika Adam Lanza menembaki kelas
yang penuh anak kelas 1 di SD Sandy Hook,
kita tidak memintanya meninggalkan negeri ini.
Ketika Timothy membunuh 168 orang di Oklahoma,
Kita tidak menyebut ini kejahatan yang melawan setiap individu di Amerika.
Ketika KKK membunuh ribuan orang kulit hitam,
dan mencoreng moralitas umat Kristiani.
Kita tidak meminta mereka menanggalkan jubah.
Kita tidak memanggil seluruh umat Kristiani sebagai munafik.
APAKAH KALIAN LIHAT???
Bahwa kami tidak melabel semua orang kulit putih atas kejahatan segelintir oknum.
APAKAH KALIAN LIHAT???
Bahwa kami tidak mengutuk seluruh kelompok manusia hanya karena tindakan segelintir orang.
APAKAH KALIAN LIHAT???
Bahwa semua nama berbeda.
Bahwa semua wajah berbeda.
BAHWA SEMUA ORANG BERBEDA
KARENA ITU,
TIDAK SEHARUSNYA KITA MENGUTUK SEMUA MUSLIM
ATAS RADIKALISME SEBUAH KELOMPOK.
Jika kalian ingin menghukum ISIS
Silahkan.
Tapi kalian juga harus menghukum yang memberi kekuatan.
Dan yang memberi kekuatan adalah Pemerintah Amerika.
TIDAKKAH KALIAN CARI TAHU?
ISLAM BUKANLAH AGAMA TEROR.
ISLAM ADALAH BERSERAH DIRI
ISLAM ADALAM PENGABDIAN
ISLAM ADALAH DAMAI
TERORISME DILARANG
DAN JIHAD BUKAN BERARTI PERANG SUCI
JIHAD ARTINYA BERJUANG
JIHAD ARTINYA BERTAHAN HIDUP
JIHAD ARTINYA DUDUK BERSIMPUH DAN MERENDAHKAN DIRI DUNIA AKHIRAT
BERHENTILAH MENDENGARKAN CNN
BERHENTILAH MENGGANTI KEMANUSIAAN JADI KEMUNAFIKAN
BERHENTILAH MENCURIGAI MUSLIM DI BANDARA
BERHENTILAH MENDENGARKAN KETAKUTANMU YANG MEMBUATMU BERTINDAK BODOH
BERHENTILAH MENDUKUNG RIBUAN KAUM REPUBLIK YANG MENDUKUNG PEMBUNUHAN KAUM YANG TDAK BERSALAH
BERHENTILAH MENDENGARKAN MEREKA YANG MENYEBUTKAN DAMAI HANYA DI MULUT SAJA
DARIPADA MENGHANCURKAN MASJID,
HANCURKANLAH EGO DAN SADARI KITA SEMUA SAMA
Dan terakhir…
Sebagaimana makna salam kami.
Assalaamu’alaikum…
Kedamaian bagimu
Wa’alaikum salam…
Dan kedamaian pula bagimu.
Tidakkah kalian lihat?
5 Cara Membesarkan Seorang Perundung (Bully)
Seliweran lagi kasus perundungan (bullying) yang dilakukan oleh mahasiswa dan anak kelas 7 SMP. Hmmm…. berkat medsos, kasus ini bisa mencuat yaa. Padahal perundungan sudah berlalu sejak lama, bahkan sejak saya SMP yang kira-kira 20 tahun lalu. Kasusnya yaaa sama, dari mulai mengejek, menjambak, hingga menelanjangi, bahkan bisa menyebabkan kematian.
TERNYATA MEMBESARKAN PERUNDUNG ITU MUDAH LOOO.
1. TERTAWAKAN ANAK KETIKA BERBUAT KESALAHAN
2. RESPONLAH SECARA NEGATIF
3. ABAIKAN AJA
4. PELIHARA BAPER
5. ITU BUKAN ANAK SAYA
Memperbarui Niat dalam Menulis dan Membuat Blog
“Diantara kedzoliman dan kebodohan manusia terhadap dirinya sendiri adalah ia membuka aibnya padahal sebelumnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menutupnya.”#JLEB
Bismillah…
Ketika ilmu itu terhampar, yang langsung terngiang-ngiang adalah saat berniat membuat blog dan mengisinya, serta tulisan-stulisan ‘curhat‘ pada sosmed yang dimiliki. Betapa banyak aib diri yang tersebar dengan dalih ‘agar orang bisa belajar dari kejadian ini’ atau ‘agar tulisan lebih mengalir karena pengalaman pribadi atau yang paling menyedihkan adalah ‘agar laku’. Wa’iyadzubillah….
Lalu, disebutkan pula hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang Al Mujaahiriin yang diriwayatkan dalam kitab shahih Al Bukhori dan Muslim , yang artinya:
Telah mengabarkan kepada kami Abdul ‘Aziz bin Abdullah, telah mengabarkan kepada kami Ibrohim bin Sa’d dari anak saudaraku Ibnu Syihab dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah, dia mengatakan, “Aku mendengar Abu Huroiroh mengatakan, “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Setiap ummatku akan mendapatkan ampunan dari Allah Azza wa Jalla kecuali al Mujaahiriin yaitu semisal ada seorang laki-laki yang mengerjakan sebuah perbuatan (buruk –ed.) pada malam hari kemudian ia menjumpai waktu subuh dan Allah telah menutupi aibnya (berupa perbuatan buruk – ed.). Lalu laki-laki tersebut mengatakan, “Wahai Fulan, aku telah mengerjakan sebuah perbuatan buruk/jelek ini dan itu”. “Maka itulah orang yang malamnya Allah telah menutup aibnya lalu ia membuka aibnya sendiri di waktu subuh (keesokan harinya –ed.)”[sumber].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan,
“Al Mujaahiriin adalah orang-orang yang menunjukkan bahwa ia telah berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Orang-orang ini terbagi menjadi dua golongan :
[1]. Orang yang melakukan perbuatan maksiat dan ia menunjukkan perbuatannya tersebut dihadapan manusia dan manusia yang lain pun melihatnya. Yang demikian ini tidaklah kita ragukan lagi bahwa mereka termasuk golongan Al Mujaahiriin dan tidak akan mendapat ampunan dari Allah ‘Azza wa Jalla.
[2]. Orang yang melakukan perbuatan maksiat secara sembunyi-sembunyi missal di waktu malam kemudian Allah menutup aibnya tersebut, atau seseorang yang melakukan maksiat di rumahnya sendiri kemudian Allah menutup aibnya tersebut sehingga manusia lainnya tidak dapat melihatnya sehingga seandainya ia bertaubat kepada Allah maka jelas hal itu akan baik baginya. Namun ketika ia menemui hari berikutnya dan bertemu dengan orang lain dia mengatakan, “Aku telah melakukan perbuatan maksiat ini dan itu” maka orang yang demikian ini termasuk orang yang tidak akan dimaafkan Allah Subhana wa Ta’ala dosa-dosanya. Orang ini termasuk Al Mujaahirin padahal sebelumnya telah Allah tutup aibnya.
Hal di atas tidaklah muncul melainkan karena dua sebab :
[1]. Dia menceritakannya karena lupa dan tidak sengaja sehingga ia menceritakan keburukannya itu dengan hati yang tidak berniat dengan niat yang buruk (semisal ingin berbangga bangga dengan maksiatnya –ed.).
[2]. Dia menceritakannya karena ingin membanggakan perbuatan maksiatnya sehingga ketika ia menceritakannya dengan semangat (dia merasa) seolah-olah ia telah mendapatkan ghonimah (harta rampasan perang) maka jenis ini adalah jenis yang paling buruk diantara dua penyebab di atas”[sumber]
Mengubah kebiasaan memang tidak mudah. Membuat alasan untuk mengulang kesalahan bisa jadi solusinya, tapi bagaimana dengan ketenangan hati?
Ah ya… maka dengan ini klastulistiwa.com akan bebenah. Mencoba menghadirkan diri di tengah umat untuk menyampaikan informasi, ilmu, (semoga) nasihat, dan sedikit jualan pribadi atau paid-review. Mencoba mengingatkan diri untuk mengurangi curhat dengan dalih apapun, tanpa dalih bahwa ini solusi yang bisa jadi berfungsi seperti Question and Answer.
Bukankan sarana dan tujuan harus sejalan? Semoga saya dan kita semua dimudahkan untuk mendengar perintah dan larangan (agama) untuk kemudian menaatinya – tanpi tapi, tanpa nanti.
Kenapa Malu Punya Anak Pemalu?
*Mierza Ummu Abdillah*
“Anaknya pemalu ya, Umm?”
Betapa mudahkah seorang anak dilabel ‘pemalu’, hanya karena memilih tidak berebut kue saat istirahat seperti teman-temannya? Tapi kurangnya ilmu membuat ibu itu pun hanya tersenyum malu. Malu punya anak pemalu.
Ah, andai saja dulu Ibu itu tahu bahwa rasa malu adalah akhlak Islam yang terpuji. Malu yang ditunjukkan anaknya bukanlah malu yang tercela, seperti malu menuntut ilmu syar’i, mengaji, amar ma’ruf nahi munkar, melakukan kewajiban seorang Muslim, dan yang semisalnya.
Andai Ibu itu dulu tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq ‘alaihi]
Andai Ibu itu tahu bahwa buah dari rasa malu adalah iffah atau menjaga kehormatan. Hal yang sangat sulit ditemukan di jaman penuh fitnah ini.Bahwa memiliki malu bukan suatu kesalahan.
Bukankah di dunia yang berisik ini, kita memerlukan manusia yang mampu menjadi pendengar yang penuh perhatian? Tidakkah kita pernah menemukan seorang pribadi yang begitu diterima bahkan tanpa mengucapkan sepatah kata?
Ibu… Tidak perlu meminta maaf kepada orang lain hanya karena memiliki ‘anak pemalu’. Jangan pula mengucapkannya di hadapan intanmu yang berharga itu. Tidak ada yang salah dan banyak alasan tepat untuk menjadi pemalu.
Andai Ibu itu tahu bahwa anak yang pemalu tidak selalu berarti menderita citra diri yang buruk. Ah… alangkah tidak adilnya. Banyak anak-anak pemalu yang memiliki konsep diri yang kuat. Mereka bersinar dari dalam – jika saja para orang tua itu lebih sabar.
Andai dulu Ibu itu tahu bahwa ia tidak perlu khawatir jika anaknya tutup mulut di tengah orang banyak. Bahwa selama anaknya masih bisa melakukan kontak mata, sopan, menurut, dan bahagia – namun hanya diam – itu membuat nyaman orang-orang di sekitarnya.
Andai Ibu itu dulu tahu bahwa anak-anak ‘pemalu’-nya lebih dalam berpikir, menyeluruh dalam mengamati, dan sangat berhati-hati. Mereka hanya seperti mesin diesel – memerlukan waktu tambahan untuk untuk pemanasan ketika bertemu orang baru.
Bersyukurlah, Ibu, jika anakmu hanya merasa malu – bukan menarik diri. Bukan bersembunyi dari kemarahan dan ketakutan. Bukankah kau tidak pernah mengancam atau menakutinya? Jika tidak, maka tenanglah. Anakmu hanya memilih menjadi mereka yang bersorak dalam pawai dan dipercaya untuk melambaikan bendera.
Namun, pelajarilah Ibu…. Jangan sampai label pemalu ini digunakan untuk tidak mau berteman dengan anak-anak lainnya. Jangan sampai label ‘pemalu’ ini digunakan sebagai pertahanan untuk tidak berusaha lebih keras dan tinggal di zona nyaman.
Jika kau menemukan demikian maka perkuatlah rasa percaya diri mereka. Anak ini hanya membutuhkan orang tua dapat ia percaya, yang mendisiplinkan dengan cara yang benar dan lembut. Mendidik tanpa menimbulkan kemarahan dan kebencian.
Ibu, bersyukurlah dengan akhlak anakmu. Ia diberkati dengan sifat yang sensitif, sangat peduli, dan lebih berhati-hati. Peluklah anakmu dan jadikan dunia menjadi tempat yang lebih lembut dan menyenangkan. Ciptakan lingkungan yang nyaman yang memungkinkan kepribadian sosialnya berkembang secara alami.
Tidak Ibu.. jangan ikut mengatainya dengan cap anak “pemalu”. Jika mendengarnya, ia bisa merasa ada sesuatu yang salah dengan dirinya, dan ini akan membuatnya merasa lebih malu. Memanggilnya “pemalu” bisa membuatnya lebih cemas, seolah-olah ada sesuatu yang mereka harus lakukan untuk “membantu” atau memperbaikinya.
Dukunglah dengan cara memberitahu apa yang harus ia lakukan ketika mengunjungi saudara atau tempat yang baru. Hindari godaan untuk mengatakan, “Jangan diem aja ya, disana.” Karena itu akan menjamin dia bungkam.
Beritahu ia apa yang diharapkan. Dari ucapan “Salim Pakde, ya.” sampai perilaku sopan lainnya. Tidak mengapa jika ia ingin membawa salah satu mainan favoritnya, seperti lego atau puzzle, yang bisa menjadi jembatan untuk komunikasi dengan sekitarnya.
Ibu, jika anakmu diminta tampil di hadapan umum, mintakan dulu izinnya. Jangan gunakan kekuasaan orang dewasa. Hormati tingkat kenyamanannya. Bukankah ada manusia yang lebih memilih untuk menjadi penonton?
Bantulah anakmu dengan berbicara lebih sedikit. Beri kepercayaan untuk melakukan apa yang bisa ia lakukan. Mintalah ia untuk menjawab langsung pertanyaan orang lain, tanpa Ibu menggantikan jadi mesin penjawabnya. Sungguh ini akan sangat membantunya. Lalu, berilah ia pujian ketika berhasil membangun komunikasi dengan sekitarnya.
…
Ibu, setahun sudah waktu berlalu sejak kau putuskan mendidik anak itu sendiri. Kau memilih untuk selalu bersama 24 jam sehari, belajar bersamanya, melatihnya, berusaha menjadi teladan untuknya. Satu inginmu waktu memilih keputusan melelahkan itu: agar bisa lebih sering memeluknya.
Lihatlah, kini ia tumbuh lebih percaya diri. Dengan kesantunannya, ia tetap bersinar di tengah keramaian. Dengan kehati-hatiannya, ia memberi jeda terhadap semua jawaban yang akan dilontarkan agar bisa berterima. Dalam diamnya, dia menyerap apa yang kau tanamkan setiap harinya. Melalui tenan gnya, dia menunjukan cintanya.
Semua kesabaran ini memang tidak mudah. Cermin ini saksinya.
Jazzakillah khairan telah bersabar dengan Ibumu, yaa bunayya.
MISTERI USIA 40 TAHUN
Kita sering sekali mendengar kata-kata “Life begins at 40” ini diucapkan atau dituliskan. Setiap orang mengartikannya berbeda. Namun, tahukah kita ayat Allah mana yang juga menyebutkan tentang misteri usia 40 ini?
Berikut nasihat dari Ustadz Subhan Bawazier pada kajian hari Senin, 8 Februari 2016 lalu mengenai misteri usia ini.
***
“Sehingga apabila dia telah dewasa dan UMURNYA TELAH SAMPAI 40 TAHUN ia berdoa: ‘Ya Rabb tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku, sesungguhnya aku bertobat kepada engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’”. [QS. Al-Ahqaf (46): 15]”
Usia 40 tahun dianggap sebagai usia pertengahan, dimana Rasulullah menyebutkan usia ini adalah usai pertengahan kehidupan.
“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit orang yg bisa melampui umur tersebut” (HR. Ibnu Majah: 4236, Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih).
Pada usia ini pula Rasulullah mendapatkan wahyu. Maka sudah pasti ada rahasia Allah yang besar di balik ini. Berdasarkan surah dan hadits di atas, berikut apa yang bisa dipetik:
- Ketika usia 40, alangkah indah ketika kita sudah menyadari bahwa, “Allah yang mencipta dan Allah yang mencukupi.” Baik yang sudah sadar maupun belum, teruslah meminta kepada Allah untuk menjadikan diri Hamba yang bersyukur. Yakinilah bahwa dunia ini ‘serba mungkin’ sebagai mana yang telah ditunjukan Allah dalam bentuk pertandanya sebagai pembuatnya.
- Dalam segala hal, usia 40 memberikan hikmah. Kita menyadari bahwa kita tidak sendiri. Kita adalah bagian dari puzzle kehidupan orang lain.
- Usia ini mengingatkan kita bahwa ujian itu mendewasakan dan mendatangkan kebaikan. Lihatlah cara salafush shalih, orang terdahulu, dalam menghadapi ujian hidup. Mereka menganggap ujian adalah tempaan yang membuat seseorang berkarakter karena mereka tahu SIAPA yang menguji.
- Pada usia ini, seyogyanya kita terus berdoa agar semua yang dirasakan dan dilalui adalah semata-mata rahmat Allah. Berdoalah agar kita mampu berjalan tanpa kesombongan. Jikapun kita dicacri, berdoalah agar diri tidak merasa kecewa dengan gunjingan mahluk.
- Pada usia ini bersyukurlah akan nikmat yang paling besar: NIKMAT MENTAUHIDKAN ALLAH. Nikmat ini tak tergantikan, meski menjadikan kita Al Ghuraba .
- Di usia ini, kita disarankan untuk banyak bergaul dengan orang shalih. Banyaklah bergaul dengan orang yang mencintai masjid. MASJID ADALAH TEMPAT YANG PALING DICINTAI اللهdi muka bumi ini.
- Ketika kita bersama dengan orang lain, saudara, atau komunitas, tanyakan pada diri sendiri: “ APA YANG BISA SAYA BERIKAN?” bukan sebaliknya. Sebagai mana pun tidak menyenangkannya sebuah kelompok yang berisi muslim, BERTAHANLAH SELAMA ADA CELAH UNTUK KITA BERBUAT BAIK. Dan berikan manfaat ketika kita berada bersama mereka.
Nasihat pun kemudian mengalir bagi para orang tua. Banyak hal yan bisa dilakukan agar anak-anak siap menuju usia pertengahan ini. Lakukanlah wahai orang tua, sebelum masa itu tidak. Lakukan mulai sekarang
- Jika hati mulai merasa rusak, banyak-banyaklah bergaul dan berkumpul dengan orang shalih.
- Jika anak tersibukan dengan akademis yang sangat duniawi dan hedonis, budayakan pesantren weekend atau kumpulkan anak-anak secara rutin untuk mengkaji Qur’an. Mentadaburinya. Jangan hanya terpaku di urusan sekolah atau nilai saja. Bekal ruhiyah sangatlah dibutuhkan agar kuat menghadapi dunia melewati usia.
- Mulailah buat lingkungan yang baik di sekitar anak-anak yang terdiri dari orang-orang yang bertakwa, belajar, dan berilmu. Buatlah lingkungan yang syar’i dan merujuk pada Al Qur’an.
- Biasakan anak-anak (dan kita) berhijrah jika menghadapi masalah. Maksudnya,hijrah dengan hati menuju الله dan Rosul-Nya. Lakukan flash back atau muhasabah.
- Biasakan bangun qiyamul lail (terutama setelah anak baligh) untuk menutrisi hati.
- Jangan biasakan menceritakan masa lalu yang buruk pada anak. Biarkan mereka belajar bahwa aib itu harus ditutupi dan ditangisi di hadapan Allah.
- Jadilah umat Islam yang mewarnai. Berdakwah dengan lisan tidak akan sekuat ketika kita menunjukan dengan perbuatan. Tunjukan bahwa umat Islam itu layak untuk diikuti.
- Umat Islam tidak mengenal hari libur. Muslim selalu berusaha mengisi waktu yang kosong, bertebaran di muka bumi setelah beribadah.
- Ajari untuk merasa rakuslah dalam beramal. Jangan pernah merasa cukup.
***
Alhamdulillah, Allah mengijinkan kami duduk dalam kajian tersebut. Sungguh banyak nasihat yang beliau sampaikan yang menjadi ibroh, utamanya bagi saya.
Jika usia kita dicukupkan hingga atau melewati 40, semoga jiwa dan diri ini tetap istiqomah dalam memegang Al Haq. Memang tidak mudah memegang bara api. Tapi ingatlah, yang mudah itu bukan istiqomah, tapi istirahat. Mari berdoa menjadi hamba yang dimudahkan menujutempat beristirahat yang sesungguhnya.
*Murajaah Kajian oleh Mierza Ummu Abdillah*
Tahapan Menuntut Ilmu
Di tengah-tengah semangat menuntut ilmu dan kemudahan mendapatkannya dengan satu satu klik saja, terkadang kita (saya) lupa dan menjadi pongah. Padahal, jika kita benar-benar belajar sesuai tingkatan dan urutannya, sungguh kita akan semakin haus untuk terus bermajelis. Semakin tahu, kita merasa semakin kecil. Bukankah belajar tidak seharusnya berhenti setelah kita lulus? Lalu kenapa anak-anak itu berteriak ‘bebas’ setelah belajar 12 tahun di sekolah? Apa yang bebas? Semoga bukan bebas belajar… Karena jika itu yang lantang diteriakkan, maka tahun-tahun mereka ‘belajar’ di sekolah itu tidaklah benar-benar belajar.
(Mierza Ummu Abdillah)
————————————————————————————————————————
*📌 Program BETAH (Belajar Tauhid)*
Quote: 002
Asy Syafi’i رحمه اللّه berkata
أخي لن تنال العلم الا بستة سأنبيك عن تفصيلها ببيان: ذكاء و حرص و اجتهاد و درهم و صحبة أستاذ و طول زمان
*”Wahai saudaraku….ilmu itu tidak diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya:*
(1) kecerdasan
(2) semangat
(3) bersungguh-sungguh
(4) adanya bekal harta
(5) belajar dengan ustadz
(6) membutuhkan waktu yang lama
___________________
BBM: 59957910
WhatsApp: 0898-60-1-70-70
Line: http://line.me/ti/p/%40dxn3713g
Telegram: @itauhid
Website: http://www.indonesiabertauhid.com
——————-
♻ Silakan disebarluaskan
MENDESAIN ULANG BUKU CEKLIS RAMADHAN
Ramadhan sebentar lagi!
~ Mierza Ummu Abdillah ~
Jadi kembali teringat masa2 ketika harus mengisi buku Ramadhan. Ceklis shalat, puasa, sampai berburu stempel masjid dan tanda tangan penceramah. Teruuuuus begitu, sampai saya jadi remaja cerdik.
Ya, cerdik. Tinggal ceklis2 atau silang2. And, so what?
Tapi ketika dapat guru agama yang menilai dari jumlah ceklis, si cerdik itu mengubah jumlah ceklis dengan kenyataannya. Ya. Manipulasi. And, so what?
Untuk catatan terawih, tinggal salin ceramah, atau minta anak lain tuliskan, lalu titip buat dicap dan tanda tangan. Beresss. Kami yang remaja2 cerdik ini tinggal jajan sambil cekikikan sementara yang lain shalat. “Masih mending kita ke masjid. And, so what?”
Dan saya pun bertumbuh jadi remaja baligh tanpa aqil. Manusia tang hidup untuk hari ini.
***
Kini, berganti waktu dan peran. Si remaja itu kini jadi seorang ibu yang menghadapi Ramadhan. Seru.. karena ini Ramadhan oertama sebagai homeschooling family. Sempat terpikir membuatkan buku ceklis dan ceramah untuk anak2 yang ga sekolah kayak ‘waktu itu’..
Sampai Qadarullah… terlintas kenangan tadi.
Setelah ditimbang, dibungkus, dan diberi label *eh* langsung terkesiap…
Lhaaa.. ngapain emak homeschoolers bikin yang begiiniiii? Hadeeeuh… Emang susyah menghalau mindset schooling, yah…
Paham sih alasan sekolah memberi itu. Mereka perlu alat kendali untuk memastikan murid2nya ke masjid dan ‘beribadah’ di bulan Ramadhan. Perkara nanti itu ceklis cuma jadi wacana aja, yang penting udah terlaksana. Done. Pendidikan karakter, katanya.
Oke, balik ke tema keluarga sendiri. Terus piyee program Ramadhannya?
Hehe.. tenang… ‘buku ceklis’ itu tinggal direkonstruksi aja kok (kalau emang keukeuh bikin yang begitu). Jadi gak cuma alat kontrol aja, tapi reminder orang tua.
Missaaal….
Kalau sebelumnya minta stempel dan tanda tangan masjid, sekarang tiap abis tarawih buat halaqah kecil di rumah buat diskusi isi ceramah bareng bocah2. Atau malah gantian menyampaikan isi ceramah.
Kalau sebelumnya anak2 yang ceklis, ini ayah/ibu yang ceklis setiap ngajak anaknya shalat atau sahur.
Kalau sebelumnya cuma anak2 yg isi hafalan dengan ayat/ surat yang baru dihafal, sekarang di halaman yang sebelahnya Ibu/ ayah ikutan isi juga.
Intinya: Children see, children do.
Lagian, di Islam tu ngeri banget lho ancaman ortu yang menyuruh tanpa melakukan yang disuruh. Dibenci ألله emang mau? Saya sih nggak. 🙂
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3)
Jadi, ayo kita belajar bersama.
Ramadhan Mubarak!
Kisah perjalanan klastulistiwa.com
HELICOPTER PARENTING
***Orangtua Helikopter***
Nulis konten buat website parenting kemarin itu ternyata lebih lama dari biasanya. Kaget dengan data2 yang diberikan. Takut karena, bisa jadi, saya adalah salah satunya.
Fenomena Budaya
Data-data yang didapat dari sedikit penelitian, salah satunya dari Shiffrin et al yang berjudul “Helping or Hovering? The Effects of Helicopter Parenting on College Students’ Well-Being“, tersebut menyebutkan bahwa orang tua jaman sekarang lebih banyak yang paranoid atau over-protektif. Fenomena ini disebut orang tua helikopter.
Cirinya?
Sang orang tua selalu ada di sebelah anaknya 24/7 laksana bayangan. Dari kecil, hingga besar. Iyap. Riset tersebut menyebutkan bahwa sekarang orang tua sangat ingin anaknya sukses menurut standar yang diterima. Bahkan banyak yang ikut heboh mendaftarkan anak-anaknya ke perguruan tinggi hingga melamar pekerjaan! Sesuatu yang jarang saya temui di masa lalu saya.
Misinya? Mereka ingin melindungi dan memastikan semuanya sempurna. Kalau kurang, sini tak ambil alih!
Lalu, apa penyebabnya?
Ternyata ya orang tua sendiri. Derasnya informasi tidak dibarengi dengan literasi, semua dilahap, dihayati, dibagi, dipercayai, dan ditakuti diri sendiri. Padahal berada di sekitar anak sebagai CCTV sudah cukup membuat anak aman dan nyaman, karena dilepas juga sama berbahayanya.
Lha ini, semua dicurigai. Dari virus kuku mulut rambut, sampai tukang tahu yang lewat.
Menurut Saya
Jika kita merujuk ke nash-nash shahih, dan menerapkannya, InsyaAllah hati ini tenang. Percaya Allah menjaga melalui perintah dan larangan. Coba lihat semua precautions atau peringatan ( kalau memang kata nasihat dianggap oldschool ) yang diberikan, semua mengandung kebaikan. Tentu yang utama berdoa meminta perlindungan kepada penguasa segala mahluk, Allah Azza wa Jalla.
Jadi…
Sebentar…
Saya ngajak diri sendiri dulu aja, ya. Kuatir tidak cukup ilmu mengajak yang lain untuk bercermin.
Apa saya over protektif dengan tidak percaya bahwa ada Allah yang maha menjaga ciptaan? Apa saya kepedean mengabaikan aturan dan larangan Allah? Jika iya, maka sudah saatnya ngelmu lagi. Belajar menjaga amanah sebagai orangtua. Hayu ah.
KERJA DARI RUMAH
Oke, karena banyak yang nanya “Ngapain aja jadi kalau nggak mengajar?” jadi saya share aja yah.
Jadi, setelah 12 tahun jadi wanita karir, sudah 3 bulan ini saya merubah pola pikir untuk lebih mengutamakan keluarga. So I decided to homeschool my children sambil kerja dari rumah. Bukan MLM loh yaaa. Pengen sih jualan, tapi kayaknya gak bakat dan gak tegaan. Nanti habis lagi barang dagangan, hehe.
Eh, dan alhamdulillah, ternyata, banyaaaak sekali peluang bagi lulusan sastra Inggris dan manajemen seperti saya ini (kamana wae atuh?). Thanks to the WWW, informasi seperti ini sangat mudah sekali didapatkan.
Nah, ini dia… Saya paparkan di bawah beberapa peluangnya ya:
1. Guru privat – Sudah jelas ya, gak perlu dijelaskan apa dan bagaimananya. Tapi ini mah jelas saya gak bisa, saat ini, kecuali online. Nunggu Debay gede. Hehe.
2. GHOST WRITER – Nah, kalau yang ini katanya harus sanggup kejar deadline dan (katanya juga) harus mampu menulis untuk pencitraan hehe.. not me also (coret)
3. CONTENT WRITER – Nah ini yang saya lakukan. Saya menawarkan jasa kepada perusahaan dan institusi untuk jadi pekerja lepas waktu. Berhubung sekarang jamannya Marketing in Venus dimana konsumen dilibatkan, jadi bisa banget dapet pemasukan dengan cara ini. All we have to do is only updating their website to be shared to socmed. Done. Asyik kan.
4. SEARCH ENGINE RATER. Nah, saya juga secara resmi tergabung dengan salah satu rating company Google. Maap, tidak bisa menyebutkan namanya karena terikat Non-Disclosure Agreement. Modalnya ya kudu bisa Bahasa Inggris karena bahan bacaan banyak dan kudu selesai dalam waktu seminggu, terus koneksi internet n gadget terkini. Kalo dah punya modal ini, ikut tes, lulus, udah deh ke terima. Tergantung jobnya, biasanya satu jamnya dapat $18 untuk newbie kayak saya. Di kali 40 jam udah berapa tuh hehehe… Bebas pilih waktu tapi ya harus nurut deadline.
5. TRANSLATOR – udah jelas lah ya kerjaannya .. tapi not me at the moment. Takut gak kekejar soalnya.
6. WRITER – yaaay.. ini memang nggak instan, tapi justru letak kepuasannya disitu. Setelah buku selesai baru dapat royalti.
7. EDUCATION CONSULTANT – ini kerjanya online juga saat ini. Jadi kalau ada yang perlu bantuan pengelolaan sekolah secara mikro, hanya saat terjadi yang stuck aja, I’m available. Tapi gak bisa ketemu offline juga karena masih ada debay.
8. TEACHER’S TRAINER – Yup, ini kesempatan seru untuk memperluas jaringan dan belajar dari guru-guru hebat lainnya. Tapiiii, karena ada debay… pastinya not at the moment.
Nah, kaaan … banyak peluangnya meski kita kerjaannya dari rumah. Kalau di Jepang lagi musim ibu yang giving up career for family, kenapa kita takut? InsyaAlloh, kemiskinan hanya di pikiran kita aja. Alloh yang menjamin kecukupan rizki.
Tapiii… if my next dream happen : ngajar di pesantren sambil homeschooling-in bocah (aamiin) I’d love to reconsider. Kapan lagi berkumpul dengan ahli ilmu jika tidak begitu.
Sebelum Memulai Homeschooling
Ilmu sebelum amal. Yak, dalam memulai sekolah rumah pun sama. Jangan mentang-mentang homeschooling atau flexi-schooling terus kita tinggal liat kurikulum, beli buku, terus belajar sendiri atau sewa guru. Udah. Hayyaaaah, itu mah sama aja kayak pindah sekolah tapi fisiknya doang.
Sebelum mulai, sebaiknya memang kita konsultasi dulu dengan yang sudah memulai. Mereka yang sudah merasakan pahit getir homeschooling. #Cieeee *kibas jilbab*
Homeschooling is such a solution, kalau kata saya mah. Kita bisa fokus dengan ngaji, hobi, dan apapun. Plus, belajar pun lebih dalam lagi by the help of the world wide web sama guru atau narasumber yang bisa kita pilih sendiri. Kalau sekolah? Hyaaaaa… mana bisaaaaaa! Yang ada kita telan aja tuh segala kualitas guru, konten, sistem, pengajaran, manajemen, yang bisa jadi di bawah standar harapan kita.
Terus, karena tidak dipahamkan pelajaran, setelah sekolah full day, anak disiksa lagi dengan bimbel? Kali ikut kursus, wajar lah ya… Tapi, BIMBEL??? Hmm, terus, fungsi guru, sistem sekolah, dan prosedur sekolah untuk mencerdaskan dimana yaaa? Well, it’s illogical, isn’t it? *gagal paham*
Ah sudahlah… gak selesai-selesai ngomongin sekolah mah. Now, for a start , saya rangkumkan nih blog dan situs yang dibuat emak bapak para homeschooler, komunitas sekolah rumah, atau malah muridnya sendiri. Here we go, para mastah dan guru yang sudah berkecimpung lebih dulu (dan kemungkinan lebih tua dari saya, yes!) di dunia keren inih. Happy blogwalking. 🙂
1. Kumpulan blog ibu-ibu homeschooler muslim dari Pinterest
2. Middle Way Mom: Islam, Homeschooling, Parenting
3. TJ Homeschooling: Islamic Studies
4. Rahmah Muslim Homeschool
5. Islamic Studies on Pinterest
6. Happy Muslim Mama
7. Homeschool for Muslims
8. Iman Homeschool
9. A Muslim Homeschool
10. A Muslim Homeschool Journey
11. The Wired Homeschool
12. Eva Varga
13. Homeschool Scientists
14. Tea Cups in the Garden
15. This Reading Mama
16. The Home Scholar
17. Education Possible
18. Tyna’s Dynamic Homeschool Plus
19. Harrington Harmonies
20. Unschool Rules
21. Confession of a Homeschooler
22. Raising Lifelong Learners
23. Homeschool Creations
24. Living Montessori Now
25. Our Journey Westward
26. Blogs, She Wrote
27. Rumah Inspirasi
28. Blessed Learners
29. Komunitas2 Homeschooling Lainnya
30. Homeschooling Jakarta
Fiuuh… Masya Allah… Banyak ya? Padahal itu belum semua loooh… Harus semangat nih ngelmunya .
Bismillah.
Fenomena Sekolah Ruko
***Pengantar artikel yang ditulis Juwono Sudarsono, Mendikbud 1998-1999, di bawah ini. ***
Saatnya cari sekolah sudah tiba. Bagi yang memilih sekolah swasta, perburuan lebih menantang lagi karena banyaknya pilihan. Dari sekolah nasional, ada plusnya, internasional, sampai sekolah abal-abal.
Yup. Sekolah abal-abal. Sekolah- sekolah ini memanfaatkan keawaman ilmu orangtua atau malah mampu menangkap idealisme untuk dijual tapi tak bisa mengejawantahkan secara teknis. Karena mau tidak mau, tata kelola sekolah ya memang teknis pelaksanaan. Ngerinya, sekolah semacam ini menjamur dimana-mana. Agar dibuat mentereng dan bertingkat, disewalah ruko agar mempesona.
[cuma ilustrasi]
Di jabodetabek ini memang lagi menjamur sekolah2 ruko. Mereka bukan lembaga pendidikan yang secara terhormat menyatakan diri sebagi kursus, pendidikan alternatif, PKBM, flexi-school, namun benar-benar mendeklarasikan diri sebagai sekolah umum. Ya, sekolah umum tanpa izin.
Memang tidak bisa digeneralisir karena beberapa sekolah bertahan berkat kualitas tata kelola dan SDM. Mereka yang melek aturan juga mengalihkan kepemilikan ruko menjadi milik sendiri. Akhirnya, sekolah pun bertransformasi dan layak disebut sekolah berkualitas.
Tapi, sayangnya, ada juga sekolah- sekolah yang sama sekali tidak layak disebut sekolah… amburadul… no system at all. Pastinya ini yang membuat tingkat turnover sangat tinggi. Dan korbannya… ya siswa lagi. 😦
Akhir dari suksesnya sang marketing menjual program adalah pindahnya para orang tua setelah tertipu. Bayar uang pangkal lagi di sekolah lain, tentunya setelah mereka melek informasi. Bagi orang tua yang sudah ‘all out’ bayar semua, pilihannya cuma satu : pasrah…
Duh… bagaimana cara menertibkan sekolah seperti ini ya? Dan yang terpenting, bagaimana mengedukasi orang tua dan anak sebelum jadi korban mereka?
Pertanyaan ini semakin banyak setelah ibu Dhitta membagikan artikel di bawah ini di milis Ikatan Guru Indonesia. Semakin galau karena sekolah-sekolah ini kok ya ‘dibiarkan’ saja. 😦
============================
SEINDAH KEHIDUPAN
Juwono Sudarsono, Mendikbud 1998-1999
KOMPAS, 10 Juni 2015
http://budisansblog.blogspot.com/2015/06/sekolah-kehidupan.html
Jelang pertengahan November 1998, di tengah hiruk-pikuk semboyan”Reformasi Total” di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, saya dipanggil Presiden Abdurrahman Wahid di suatu kediaman di Jalan Irian, Jakarta Pusat.
Kami membahas lingkup dan materi kurikulum sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Karena kami yakin materi dan cara pengajaran cepat atau lambat harus diubah, Gus Dur-sapaan akrab Abdurrahman Wahid-mengingatkan agar reformasi pendidikan di telaah secara cermat karena perubahan sistem pendidikan perlu waktu. Minimal 1-2 tahun untuk menyusun konsep, 2-3 tahun memasyarakatkan, dan setelah lima tahun mulai dilaksanakan pada setiap jenjang pendidikan. Saya paham tentang hal ini meski merasakan betapa sulit memasyarakatkan reformasi yang didorong para tokoh politik yang mendesak agar reformasi dimulai “sekarang juga”.
Apalagi reformasi yang mendesak merombak kurikulum, mulai dari perubahan “Bahasa Orde Baru” ke arah “Bahasa Orde Reformasi”. Saya teringat pada pemeo “ganti menteri” dan “ganti kurikulum” pada tahun 1960-an dan 1970-an. Dari zaman Menteri Pendidikan dan Pengajaran Priyono sampai Mendikbud Nugroho Notosusanto,
Saya pikir sekarang saya bakal kena batunya. Setelah belajar di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia Bagian Publisistik (sekarang Departemen Ilmu Komunikasi Massa FISIP), saya mulai berhadapan dengan orang pintar, para ahli dari berbagai institut keguruan dan ilmu pendidikan seluruh Indonesia yang ingin menyumbang pikiran tentang apa lingkup dan isi kurikulum yang “baik dan benar”.
Beruntung saya dibantu Dr Satryo Soemantri Brodjonegoro (Direktur Pembinaan Sarana Akademik) dan Dr Anhar Gonggong (Direktur Nilai Sejarah dan Tradisional) di Depdikbud. Saya dikawal Letnan Jenderal Sofian Effendi, Sekjen Depdikbud yang kebetulan bos saya di Lemhannas 1996-1998. Saya pikir, karena saya dibantu teknolog asal Jawa (yang ayahnya, Prof Soemantri Brodjonegoro, pernah menjadi Rektor UI), oleh sejarawan Bugis-Makassar, dan oleh prajurit Kopassus asal Bireuen, Aceh. Agak lengkaplah, saya dibantu orang yang melambangkan rakyat yang mewakili sebagian besar Indonesia barat dan timur.
Gus Dur berseloroh, “Mas Ju jadi apanya ‘Mafia Berkeley’?” Julukan Mafia Berkeley disandangkan kepada sebagian tokoh ekonomi dan administrasi publik yang langsung atau tidak langsung membantu Prof Widjojo Nitisastro selama 20 tahun lebih (1966-2000).
“Saya hanya kroco bidang politik internasional, Gus, pernah belajar dengan beberapa teman dosen asal Aceh sampai ujung timur di Manado dan Kupang.”
“Wah, politik. Kalau begitu Mas Ju jadi tukang tembak (hit-man),” kata Gus Dur, mengingatkan saya pada film The Untouchables yang diperankan Kevin Costner, Sean Connery, dan Robert De Niro sebagai Al Capone, tokoh mafia Chicago tahun 1929-1930.
“Begini,” kata Dur, “Saya ini ditanyain tentang itu lho, sekolah ruko yang menjamur di mana-mana, termasuk di daerah saya di Ciganjur. Itu namanya sekolah-sekolahan, enggak jelas alamatnya, enggak jelas izinnya. Itu namanya sekolah enggak keruan.”
“Saya ingat kata-kata Satryo Soemantri Brodjonegoro, kira-kira ada 747 perguruan tinggi swasta di daerah Jabotabek,” kata saya ke Gus Dur. Ia yang langsung berseloroh: “747? Angka dari mana tuh, kok mirip banget dengan pesawat Boeing 747?”
“Tahu enggak Mas,” sambung Gus Dur, “saya ini sudah lama mimpin UCLA, University Ciganjur Lenteng Agung, enggak kalah terkenal dengan sekolah UC Berkeley atau UC Los Angeles. Saya drop out dari Universitas Baghdad dan cuma mahasiswa pendengar di Al-Azhar, Kairo. Tetapi, saya mahasiswa Sekolah Kehidupan, saya melihat-lihat mengalami kehidupan nyata di lapangan.”
Saya mengangguk diam dan berkata dalam hati, Gus Dur memang sarjana yangsujana, simple dan rendah hati. Orang Jawa bilang dia itu tidak gumunan, tidak mudah kagetan, tidak mentang-mentang. Gelar apa pun, akademik, adat, gelar keagamaan, tidak ada artinya kalau dia tidak menghargai dirinya sendiri dengan berkaca pada pahit getirnya tantangan hidup sehari-hari.
Saya teringat ucapan Bung Karno pada awal 1960-an ketika membuka Hari Sarjana UI di Kampus Salemba 4, Jakarta Pusat.
Mengutip pidato Bung Karno ketika memperkenalkan pemimpin Vietnam Ho Chi Minh, saya berkata dalam hati, “Paman Ho tak tamat sekolah tinggi, tetapi berhasil mengocar-ngacirkan pemerintah kolonial Perancis sehingga tahun 1954 Perancis takluk di Dien Bien Phu dan mundur dari Indo-China.”
Gus Dur adalah sosok genius yang tak perlu mengejar gelar akademik, apalagi dari sekolahan pojok jalan atau ruko murahan yang bertebaran di mana-mana. Tetapi, Gur Dur seperti juga Ho Chi Minh yang pernah magang sebagai koki di hotel di Place Vendome, Paris, adalah orang yang percaya diri pada garis tangan. Siapa tahu yang mengelola ruko sekolah-sekolahan itu berhasil karena ada tangan Tuhan yang membantunya keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Siapa tahu ijazah palsu yang dipersoalkan itu kelak membantu orang menjadi otodidak, yang karena rasa percaya dirinya besar sehingga tak memerlukan gelar: sah atau tidak! Atau, seperti kata Gus Dur, “Enggak usah repot-repot nertibkan (sekolah di) ruko-ruko itu. Lama-lama capai juga mereka ngurusin ijazah dengan segala tetek bengek cap, laminating dan figura.”
Benar juga. Butuh tenaga dan biaya sangat banyak untuk menertibkan sekolah tak keruan itu. Biarkan sekolah tadi layu tak berkembang. Biarkan orang mencari rezeki atau rugi sendiri kalau tidak ada peminat yang memercayai iklan yang dipasang di mana-mana dengan biaya semurah atau semahal apa pun. Biarkan ijazah palsu diedarkan sampai orang kapok.
Sekolah Kehidupan hanya perlu pelita hidup dalam hati kita masing-masing. Itulah ijazah yang sebenarnya kita selalu mencari, dari pengalaman hidup Ho Chi Minh, Gus Dur, dan ratusan tokoh tak bergelar akademik di seluruh pelosok Indonesia.
Lebih Baik Diam? (Ketiadaan Manajemen Keluhan)
Sebuah organisasi yang baik terbentuk dari kontribusi seluruh pihak, baik dari atasan maupun bawahan. Begitu juga dengan sekolah. Institusi pendidikan dianggap berhasil ketika mampu memprediksi masalah, bukan hanya mengatasi.
Kemampuan memprediksi ini hanya akan muncul di institusi yang sehat. Ada dua karakter yang sebaiknya dimiliki sekolah sehat, yaitu mampu menerima masukan dan kepemimpinan yang kuat. Bagaimana bisa? Oke, kita beberkan di bawah ini:
Yang pertama adalah manajemen keluhan atau complaint management yang baik. Sekolah yang sehat adalah sekolah yang mampu mengelola semua masukan dan keluhan baik dari dalam maupun dari luar. Dari luar bisa berarti dari orang tua, siswa, dan komunitas. Dari dalam bisa didapatkan dari guru, staf, dan manajemen sekolah.
Mungkin saat ini anda berpikir, “Seharusnya dari dalam itu berupa masukan, bukan keluhan.” Ya, mungkin idealnya demikian. Tapi, ayolah…. keluhan itu berasal dari ketidak mampuan orang yang mengeluh.
Katakanlah yang mengeluh itu adalah guru. Mereka melakukan itu bisa jadi karena area penyelesaiannya terlalu luas seperti sistem yang berantakan atau di luar wewenang, atau ketika sekolah memiliki kepala sekolah, yang abai dan tidak cakap, misalnya. Maka, wajar jika mereka mengeluh. Yang menjadi perhatian seharusnya adalah follow up dari keluhan tersebut, bukan siapa yang mengeluh.
Adalah sebuah kesalahan besar ketika guru atau siapapun yang mengeluh ini dibungkam demi pencitraan. APA YANG HARUS DICITRAKAN??? Setiap keluhan yang dibungkam dan lama atau tidak di follow up akan menumpuk laksana gunung es.
Belum lagi ketika kepala sekolah yang seharusnya menjadi penghubung antara pemilik dan guru memilih diam demi keberlanjutan hajat hidup pribadi dan melupakan amanah sebagai pemimpin.
Nah, berarti kita masuk ke pembahasan kedua yaitu kepemimpinan yang kuat sebagai ciri sekolah sehat. Beruntung saya berada di bawah pengayoman para pimpinan berkualitas di sekolah sebelumnya: Al Izhar, Tunas Muda, Sugar Group, dan Al Taqwa. Dari merekalah saya banyak belajar mengenai ilmu kepemimpinan.
Sungguh saya akan super galau jika berada di bawah kepemimpinan yang represif, yang meminta guru untuk diam demi pencitraan. Ada lho, sekolah seperti itu.. Yang kepala sekolahnya memilih diam dan melupakan amanah, yang penting aman dan keluarga kenyang. Yang gurunya tidak dianggap profesional sehingga tidak perlu diikat dengan kontrak. Yang pemiliknya lebih mementingkan bisnis daripada anak didik dengan merumahkan guru di tengah tahun ajaran tanpa diberi bimbingan lebih dulu. Lha wong perusahaan aja dapet SP sampai 3X kok, masa sekolah yang nyata-nyata merupakan institusi pendidikan tidak mendidik para pendidiknya.
Tapi lagi – lagi saya bersyukur karena keempat sekolah yang saya sebutkan di atas sangat profesional dan bukan jenis sekolah yang ‘khilaf ‘ tadi. Semoga siapapun guru,orang tua, dan siswa yang bertahan di sekolah tersebut dapat membantu sekolah bangkit dari kekhilafan.
Sungguh diam yang demikian membawa konsekuensi yang besar, yaitu hilangnya kepercayaan orang tua sebagai konsumen. Maka, tidak heran jika orang tua akhirnya memindahkan anaknya dan memilih sekolah lain.
Nah, setelah membaca artikel ini, masihkah anda percaya bahwa diam lebih baik di setiap kesempatan? Saya kembalikan jawaban dan konsekuensinya ke tangan anda.
Turnover Guru: Apa dan Kenapa
Tulisan ini akan menyoal turnover dalam bidang SDM ya. Sebenarnya ada padanan kata bahasa Indonesia untuk turnover ini, yaitu perpindahan atau pergantian. Tapi, berhubung kata turnover (menurut saya) jauh lebih familiar, jadi saya akan memakainya dalam tulisan ini.
Definisi turnover itu sendiri, yang saya terjemahkan dari businessdictionary , adalah jumlah karyawan yang direkrut untuk menggantikan karyawan yang mengundurkan diri atau diberhentikan dalam jangka waktu tertentu.
Kata karyawan disini akan kita ganti dengan kata guru yang merupakan salah satu komponen terpenting dalam menentukan kualitas sekolah. Kualitas kinerja guru yang baik sering berdampak positif bagi perkembangan anak didik.
Begitu pula dengan masa kerja guru di sekolah tersebut. Sekolah Sekolah yang memiliki kemampuan retensi guru yang baik, atau dengan kata lain tidak sering bongkar pasang guru, terbukti berpengaruh dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pengembangan profesi, jumlah siswa, penjadwalan, perencanaan kurikulum, kenyamanan kerja, dan menghindarkan sekolah tersebut dari potensi ‘chaos’.
Seperti bola es yang terjadi dalam sekolah dengan turnover tinggi, faktor-faktor di atas akan mempengaruhi operasional sekolah secara makro, atmosfir kerja yang tidak menyenangkan, merusak citra sekolah, dan pada akhirnya terjadi hal yang paling tidak diinginkan: mencederai proses belajar mengajar. Seperti hasil riset William Sanders dalam Teachers Magazine (2000), anak-anak didik yang belajar di sekolah yang memiliki kemampuan retensi guru akan merasa nyaman dan mampu meningkatkan prestasi akademik.
Lalu, apa yang menyebabkan tingginya turnover? Apakah hanya gaji dan remunerasi? Guess what?
Yup, berdasarkan banyak riset yang dilakukan bidang manajemen seperti uang dilakukan Galluphttp:// www.gallup.com/businessjournal/106912/turning-around-your-turnover-problem.aspx, ternyata bukan uang alasan utama tingginya turnover.
Mari kita lihat prosentase berikut:
Ternyata, alasan moneter hanya mendapat porsi 22%. Sisanya yang 78% terbagi menjadi beberapa alasan seperti job security, jenjang karier, gaya manajemen, ketidak cocokan pekerjaan, dan penjadwalan/ fleksibilitas. Kelima hal tersebut disebabkan oleh ketidak cakapan manajemen dalam menganalisis dan mengelola talent yang dimiliki organisasinya.
Dalam cakupan sekolah, siapakah yang disebut manajemen itu?
Manajemen sekolah termasuk dalamnya setiap pengelola yang merupakan pengambil keputusan, baik strategis maupun operasional. Berarti, dalam hal ini, manajemen sekolah itu termasuk ketua dan anggota yayasan, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, hingga koordinator.
Semua pengambil keputusan tadi paling bertanggung jawab atas tingginya tingkat turnover . Tidak ada satu pun bagian yang bisa mencuci tangan karena koordinasi yang baik dimulai dari analisis diri dan mengakui kesalahan.
Lalu, bagaimana selanjutnya? Bisakah kita atasi masalah ini?
Tunggu lanjutannya, ya, insyaAllah. 🙂
Balita Anda Suka Berteriak? Ini Tipsnya
Mengingat kembali dua tahun yang lalu, ketika anak kedua saya – Isma – suka berteriak atau bersuara keras kalau berbicara (meskipun jaraknya dekat).
Pertanyaannya, apakah saya panik? Oh, tentu tidak.
Pertanyaan berikutnya, pasti anak pertama seperti itu, ya? Hehe, nggak. Justru, Jenna, anak pertama saya, lebih seperti observer. Pendiam banget sih, nggak. Tapi berteriak itu kata yang lumayan jauh dari kamus waktu membesarkannya sebagai balita.
Jadi, kemarin ada yang tanya bagaimana menangani anak yang suka berteriak di Facebook. Berhubung ini sempat terjadi pada Isma, dan alhamdulillah beberapa tipsnya berhasil, saya share aja yah sedikit …
Pada masanya Isma, saya punya 3 kamus yang udah buluk di rumah, karena belinya 8 tahun lalu. Dua kamus itu adalah The Baby Book-nya Dr.Sears dan Nanny 911. Selain itu, saya juga sudah sempat tersentuh dakwah sunnah. Dakwah ini ternyata nyampe di nalar saya karena mungkin scientificya… berdasarkan Qur’an dan sunnah,.
Okay, bismillah… Here we go…
Sebelum menerapkan beragam tips, kita harus cari tau dulu sebabnya.
Biasanya anak usia 2-5 tahun memang masanya belajar bicara dan melampiaskan emosi secara positif. Jadi, terkadang dia lagi mengekspresikan kesetresan dia karena salah dimengerti. Atau, dia lagi belajar dari orang sekitarnya (yang suka teriak juga hehe). Atau, volume media di rumah yang keras, misal TV/ video/ game yang disetel kencang, yang otomatis buat dia ingin lebih didengar. Atau, bisa jadi memang masih belajar membedakan bagaimana berbicara di dalam atau di luar ruanganز
Tapi tips pertama yang harus bin wajib kita terapkan adalah berdoa di waktu mustajab, pas tiap sujud misalnya. Saat-saat mustajab inilah kita meminta kepada Allah subhanahu wata’ala kemudahan dalam mendidik.
Next tips, kalau berdasarkan masalah, tips-tips ini ini mungkin bisa dicoba:
- Ketika anak merasa nggak dimengerti (lagi belajar bicara). Pas lagi teriak, tetep tenang. Ulangi dengan kalimat bervolume normal, “Kamu mau ini, De?” terus minta ia ulangi sampai tenang. Kalo dia tantrum, peluk seperti Khadijah r.a. yang menyelimuti Rasulullah ketika pertama mendapat wahyu. She (r.a.) didn’t say a word until Rasulullah was ready to talk. Lakukan hal yang sama, peluk sampai tenang. Jangan terpancing. Kalo di psikologi barat, kalau nggak salah, ini disebutnya Bear Hug. Kalo pas di keramaian, bawa dia ke tempat sepi. Tanggapi dan puji kalau ia bisa bicara tenang/ tanpa teriak.
- Matikan/ pelankan suara media. Anak sebenarnya sudah fitrah ingin didengar.
- Kalo masalahnya lagi belajar suara indoor/ outdoor, tinggal treatment aja. Kalo pas lagi di rumah teriak2nya (bukan pas marah2 tapinya), gendong dia keluar rumah dan bilang “Nah, kalau di luar sini, kamu boleh bersuara keras. Coba tadi mau bicara apa?” Kalau udah turun volumenya, ulangi lagi ketika masuk rumah, dan puji kalau dia berhasil menurunkan volume suaranya.\
- Mengendalikan respon kita. Pokoknya jangan terpancing marah/ bales teriak.
- Untuk long-term, kita bisa beri pengertian lewat cerita, kompromikan dengan orang rumah (kalau ada yang suka teriak) bahwa kita lagi didik anak supaya tidak berteriak (minta mereka turunkan volume kalau bicara), puji setiap kalo anak pakai volume normal, selalu memanggil/ menghampiri anak lalu berlutut untuk berbicara dengan volume normal (untuk memberikan feeling sejajar) – bukan berbicara lintas ruangan misalnya.. Hehe.
Nah, begitulah petualangan saya sewaktu menjinakkan eh mendidik anak untuk berbicara sesuai ruang dan waktu. Pastinya, tidak ada satu tips yang manjur, karena orang tua harus selalu mencari ilmu untuk mendidik anak-anaknya menjadi khalifah di muka bumi ini. It takes time, and patience, but it’s all worthy, insya Allah.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.