Sebuah organisasi yang baik terbentuk dari kontribusi seluruh pihak, baik dari atasan maupun bawahan. Begitu juga dengan sekolah. Institusi pendidikan dianggap berhasil ketika mampu memprediksi masalah, bukan hanya mengatasi.
Kemampuan memprediksi ini hanya akan muncul di institusi yang sehat. Ada dua karakter yang sebaiknya dimiliki sekolah sehat, yaitu mampu menerima masukan dan kepemimpinan yang kuat. Bagaimana bisa? Oke, kita beberkan di bawah ini:
Yang pertama adalah manajemen keluhan atau complaint management yang baik. Sekolah yang sehat adalah sekolah yang mampu mengelola semua masukan dan keluhan baik dari dalam maupun dari luar. Dari luar bisa berarti dari orang tua, siswa, dan komunitas. Dari dalam bisa didapatkan dari guru, staf, dan manajemen sekolah.
Mungkin saat ini anda berpikir, “Seharusnya dari dalam itu berupa masukan, bukan keluhan.” Ya, mungkin idealnya demikian. Tapi, ayolah…. keluhan itu berasal dari ketidak mampuan orang yang mengeluh.
Katakanlah yang mengeluh itu adalah guru. Mereka melakukan itu bisa jadi karena area penyelesaiannya terlalu luas seperti sistem yang berantakan atau di luar wewenang, atau ketika sekolah memiliki kepala sekolah, yang abai dan tidak cakap, misalnya. Maka, wajar jika mereka mengeluh. Yang menjadi perhatian seharusnya adalah follow up dari keluhan tersebut, bukan siapa yang mengeluh.
Adalah sebuah kesalahan besar ketika guru atau siapapun yang mengeluh ini dibungkam demi pencitraan. APA YANG HARUS DICITRAKAN??? Setiap keluhan yang dibungkam dan lama atau tidak di follow up akan menumpuk laksana gunung es.
Belum lagi ketika kepala sekolah yang seharusnya menjadi penghubung antara pemilik dan guru memilih diam demi keberlanjutan hajat hidup pribadi dan melupakan amanah sebagai pemimpin.
Nah, berarti kita masuk ke pembahasan kedua yaitu kepemimpinan yang kuat sebagai ciri sekolah sehat. Beruntung saya berada di bawah pengayoman para pimpinan berkualitas di sekolah sebelumnya: Al Izhar, Tunas Muda, Sugar Group, dan Al Taqwa. Dari merekalah saya banyak belajar mengenai ilmu kepemimpinan.
Sungguh saya akan super galau jika berada di bawah kepemimpinan yang represif, yang meminta guru untuk diam demi pencitraan. Ada lho, sekolah seperti itu.. Yang kepala sekolahnya memilih diam dan melupakan amanah, yang penting aman dan keluarga kenyang. Yang gurunya tidak dianggap profesional sehingga tidak perlu diikat dengan kontrak. Yang pemiliknya lebih mementingkan bisnis daripada anak didik dengan merumahkan guru di tengah tahun ajaran tanpa diberi bimbingan lebih dulu. Lha wong perusahaan aja dapet SP sampai 3X kok, masa sekolah yang nyata-nyata merupakan institusi pendidikan tidak mendidik para pendidiknya.
Tapi lagi – lagi saya bersyukur karena keempat sekolah yang saya sebutkan di atas sangat profesional dan bukan jenis sekolah yang ‘khilaf ‘ tadi. Semoga siapapun guru,orang tua, dan siswa yang bertahan di sekolah tersebut dapat membantu sekolah bangkit dari kekhilafan.
Sungguh diam yang demikian membawa konsekuensi yang besar, yaitu hilangnya kepercayaan orang tua sebagai konsumen. Maka, tidak heran jika orang tua akhirnya memindahkan anaknya dan memilih sekolah lain.
Nah, setelah membaca artikel ini, masihkah anda percaya bahwa diam lebih baik di setiap kesempatan? Saya kembalikan jawaban dan konsekuensinya ke tangan anda.