Lectures of Life, Parenting

CATATAN KAJIAN @ASESI2018 MENDIDIK GENERASI ROBBANI

[Bismillah: Catatan ini sesuai apa yang disimak dan kurang lebihnya adalah kesalahan pencatat. Foto buku bukanlah yang dikaji, melainkan  hadiah untuk si sulung (11th) dari ustadz karena  bertanya, “Bagaimana cara saya menjaga akhlak jika mau masuk pesantren dan ternyata teman-teman tidak bersikap baik”]

IMG-20181103-WA0013

===============

Mendidik Generasi Robbani
Ustadz Fazhrudin Nu’man
ASASI EXPO, 3 November 2018

Oleh Mierza Miranti

 

Tujuan utama kita: At Tahrim ayat 6

Ibnu Umar menafsirkan ayat ini ” Berikan pendidikan kepada anakmu karena kalian akan dimintai pertanggung jawaban apa yg anda ajarkan dan didikan kepada mereka”

Dibalik itu semua ada tanggungjawab pendidikan anak: Bagaimana caranya muncul dari RT kita muncul anak shalih, qurata ayun.

Sodaqoh jariyah, ilmu bermanfaat, dan anak shalih yg senantiasa mendoakan ayah dan bunda.

Anak shalih itu meskipun tidak mendoakan, tetap sampai pahala kepada kita ketika meninggal, karena anak-anak itu hasil didikan kita dahulu. Mendidik anak itu kewajiban dan kebutuhan.

Dalam Ali Imron: 79 disebutkan kalimat “jadilah kalian generasi Robbani”
Ibnu Abbas menyebutkan bahwa “Generasi Robbani adalah generasi yg berakal, bijak, dan memahami agama.”

Robbani diambil dari dua kata, disandarkan kepada Rabb (jamaknya)

Artinya:

1. Generasi yg banyak ibadah kepada Allah dan banyak ilmunya.
2. Generasi yg mengurus manusia sehingga bisa mengurus saudaranya (tidak mementingkan diri sendiri)

Imam at Thabrani “Rabbaniyun adalah tulang punggung manusia, jadi sandaran, generasi yg jadi andalan dalam fiqh, agama, dan dunia.”
Ketika membayangkan generasi rabbani, jangan hanya bayangkan anak kita. Kita pun harus menjadi generasi rabbani.
Ciri-ciri generasi rabbani:
1. Generasi yang senantiasa tegar, semangat, kokoh, berdiri di atas tauhid yang lurus.
2. Senantiasa istiqomah di atas sunnah Rasulullah dan salafish shalih sbg imam dan tauladan yang diikuti
3. Generasi yang senantiasa menjunjung tinggi di atas ilmu dan amal, menjauhi maksiat
4. Generasi yang semangat mengajarkan ajaran islam, amal maruf nahi munkar di atas ajaran yang benar
5. Generasi yang menyejukan pandangan dengan akhlak yang mulia dan adab

Ambillah doa untuk meminta kepada Allah
❤ Doa nabi Ibrahim “Rabbi habli minash shalihin”
❤ Doa nabi Zakaria
❤ Surat Al Furqon 74

Bagaimana menjadi generasi Robbani:
1. Al walidain al shalihah (orangtua yang shalih)
2. Al biah al shalihah (lingkungan yang baik)
3. Al ilmu as shahihah (ilmu yang benar)
4. Al mualim al robbani. (Guru baik dan ahlussunnah)
5. Al abdul halal (semua asupan yg halal

====================
1 . Al walidain al shalihah (orangtua yang shalih)

Keshalihan/ keburukan ini berpengaruh besar, setelah Allah. Merekalah madrasah pertama
Kedua orangtua shalih dapat membangun rumah tangga di atas keshalihan dan berdoa diatasnya.

LIHAT: kisah nabi Musa dan Nabi Khidr dalam al kahf tentang dinding rumah anak yatim yang diperbaiki nabi Khidr atas sebab orangtuanya yang shalih

Ibnu katsir: “Keshalihan seorang berpengaruh dalam keturunannya di dunia dan akhirat.”

“Seorang bayi terlahir suci, orangtuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, Majusi” (Muttafaq alaih)

Berpikirlah sebelum menikah untuk mencetak generasi Robbani.

Aisyah radhiyallaahu anha, ” Hendaklah kalian memilih teman yg baik untuk menaruh benih.”

CEK: Wanita dinikahi karena 4 hal….

Cari juga pria yg shalih “bila ada laki-laki yang kalian ridhai akhlak dan agamanya maka nikahkankah kepadanya, sebab jika tidak, maka akan terjadi bencana di muka bumi dan kerusakan yang melanda”
Kenapa ortu harus shalih?
1. Orangtua shalih akan amanah
2. Akan memulihkan pendidikan terbaik serta memerintahkan mereka dalam ketaatan
3. Akan menjadi qudwah yg baik
4. Menjaga dr yg merusak
5. Akan memohon kepada Allah untuk kebaikan anaknya

———
2. Al biah as shalihah (lingkungan yang baik)

Syaikh Athiyyah “Setiap anak asalnya lahir dalam keadaan fitrah, apabila tumbuh dalam fitrahnya niscaya akan tumbuh dalam hidayah…. ”

CEK KISAH: Jaman bani Israil tentang sang pembunuh 100 nyawa. Ketika ia ingin taubat dinasihati “Pergilah engkau ke negeri yg disana orang-orang menyembah Allah bersama orang shalih, jangan kembali ke negerimu tempat orang-orang yang buruk”

Rasulullah, “Agama seseorang akan seperti agama temannya, maka hendaklah setiap kalian melihat dengan siapa ia berteman”

Yang harus dijaga
1. Lingkungan keluarga (apa masih ada maksiat? Musik?)
2. Lingkungan masyarakat (cek tetanggamu sebelum pindah)

3. Lingkungan sekolah tempat velajar

 

Di Mekah Madinah tidak ada pesantren karena lingkungannya sudah pesantren, tidak ada ikhtilat, musik

Maka carilah sekolah yg tanpa ikhtilat, musik, dan syariat sesuai Quran sunnah denggan pelayanan salafush shalih.
=============
3. Al ilmu as shahihah (ilmu yang benar)

Ilmu adalah fondasi pencetak generasi, pengubah karakter.
Hanya dengan ilmu orang bisa:
1. Mengenal Allah
2. Ibadah dengan benar
3. Mengetahui halal haram
4. Berakhlak mulia
5. Berdakwah amal maruf mahir munkar
Hasan al Basri, “Kalau tidak (taat?) ilmu agama, seseorang akan seperti binatang”

Menuntut ilmu ada 2:
1. Mubah —> math, sains, kedokteran
2. Wajib —> agama dalam Quran, sunnah, pemahaman salafush shalih. INILAH STANDAR ILMU

Barangsiapa yg dikehendaki baik oleh Allah, maka pahamkan ia terhadap agamanya.

Ilmu adalah apa-apa yang pernah diucapkan Allah, Rasul, dan sahabatnya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ketangguhan ilmu. Setelah jaman Rasulullah, sahabat-sahabat yg dijamin surga.

Ahlussunnah yang dimaksud adalah mereka yang memahami agama dengan benar sesuai pemahaman salafush shalih.

Kalau ada kuisioner di jaman jahiliyah, siapa yg paling zalim,   jawabannya Umar bin Khattab. Tapi lihat setelah masuk Islam, Umar jadi umat terbaik.

“AKU wariskan kepada kalian 2 perkara, tidak akan sesat jika kalian berpegang teguh, yaitu kitab Allah dan sunnah rasulNya.”

Kata nabi di akhir jaman kalian akan ada perselisihan yang banyak, maka hendaknya kalian berpegang pada tuntunanku dan tuntunan sahabatku.
=========
4. Al mualim al robbani. (Guru baik dan ahlussunnah)

Kenapa belajar agama malah bisa menjadikan seorang lulusan berpemahaman  Syiah? Khawarij? ISIS? —>>> KARENA GURUNYA MENGAJARKAN DEMIKIAN

Guru memiliki tanggung jawab besar.

Kalau bisa jadilah guru karena “Sesungguhnya Allah dan malaikat, seluruh penduduk. . Seluruh yg di bumi. .. semua mendoakan kebaikan.” <<< cek hadits lengkapnya.
Karakter guru Robbani:
1. Memiliki keikhlasan (betul-betul ingin membetulkan anak didiknya karena Allah
2. Shalih, memiliki kekuatan taqwa ilallah
3. Beraqidah yang shahih dan manhaj yang lurus
4. Memiliki kekuatan ilmu yg berlandaskan quran sunnah salafush shalih
5. Memiliki kemuliaan akhlak dan keluhuran budi pekerti (jika anak didik takut kepada kita, maka kita harus koreksi diri)

Hati-hati kabar akhir jaman ” akan muncul guru-guru yang mengajak manusia ke neraka jahannam”

Hendaknya kalian melihat darimana kalian melihat darimana mengambil agama kalian, sehingga diduga apabila darinkalangan Ahlussunnah maka ambillah ilmunya.

Imam Malik “Ilmu ini adalah daging dan darah kalian dan akan ditanya di hari kiamat maka hendaklah kalian melihat darimana mengambilnya.”

 

=========

5. Al abdul halal (semua asupan yg halal

Imam atau Tsahuri ” siapa yang makanan. Halal pasti badannya akan menaati Allah dan barangsiapa siapa memakan makanan haram pasti badannya bermaksiat kepada Allah.”

Para ulama dulu ketika tidak bangun malam, mereka cek makanan mereka.
Ibnul Qayim “Makanan haram bisa melemahkan jiwa”

Al Baqoroh 168, jangan ikutin langkah syaitan. Nabi Adam yang memakan buah menjadi pelajaran.

Makanan haram bisa menghalangi ibadah.

An Nisa: 10 ..
“Setiap daging yang tumbuh dari nasabah haram maka neraka lebih uatam baginya” (HR Muslim)

Abu Bakar memakan sesuatu dari pembantunya, lalu ia makan dr hasil dukun, lalu ia berusaha memuntahkannya.

 

 

Homeschooling, My Reflection, Parenting

KURIKULUM UNTUK ORANG TUA (HOMESCHOOLERS) MUSLIM

KURIKULUM UNTUK ORANG TUA (HOMESCHOOLERS) MUSLIM

*Mierza ummu Abdillah*

“Cieee yang homeschooler…. masa orang tuanya perlu kurikulum?”

 Baiklah, kita bahas tentang kurikulum dulu ya. Karena kita di Indonesia, kita pakai acuan nasional, yaitu Diknas.

Kurikulum menurut UU No. 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 19 adalah “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.

Garis bawahi kata TUJUAN PENDIDIKAN. Sebagai muslim, sebagai orang tua, apa tujuan kita?

Pasti udah sering mendengar ayat yang artinya iniii kaaan:

 “Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka…” (QS. At-Tahrim: 6).

love isnot enoughBagaimanakah cara melindungi ‘kita dan keluarga kita’? Cukupkah dengan cinta dan ketulusan?

Nope. Love is not enough.

Bukankah kita sudah banyak melihat contoh orang tua yang mencintai anaknya dengan tulus dan melakukan apapun yang anaknya minta atas nama cinta? Lalu bagaimana kelanjutannya? Teman-teman disini pasti tahulaah jawabannya: Iyesss… kita butuh ilmu.

Banyaaak sekali yang harus kita pelajari, dari mulai ilmu agama hingga ilmu berkomunikasi. Islam memberikan kurikulum yang ajiiib dalam soal mendidik anak  ini, terutama soal akidah sebagai ilmu pertama yang layak dikenalkan pertama kali. Singkatnya, begini ‘kurikulum dasar’ bagi orang tua sang pendidik adab yang sebenarnya bisa bertambah berlipat-lipat sesuai karakteristik keluarga:

  1. AQIDAH

Inilah modal dasar dalam mendidik, agar anak hanya menyandarkan diri kepada Allah. Memberikan hadiah tak mengapa, asal ajarkan anak meminta kepada Allah saat menjanjikannya. Disinilah kita bisa menancapkan aqidah di hati mereka.

Nabi shallallahu’alaihiwasallam telah memberi contoh dalam pondasi dalam jiwa anak. Dalam riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, yang artinya “Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. (HR. Tirmidzi – Hasan sahih).  Dengan terus mencamkan ini, insyaAllah ketika mereka tak bisa mendapatkan apa yang mereka mau, itulah yang terbaik dari Allah.

Lihatlah wasiat Nabi Yaqub pada surat Al Baqarah ayat 133 ketika hendak meninggal dunia. Yang ditanyakan bukan berapa nilai di ijazah atau penghasilan anak-anaknya, tapi siapa yang disembah? Bukankah kita juga tidak tahu apakah besok kita masih bisa bangun dan ‘menjaga’ anak-anak dengan semua ilmu parenting kita? Siapa lagi yang akan menjaga mereka selain yang menciptakannya?

  1. ILMU TENTANG TATA CARA IBADAH

Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka untuk dipaksa shalat, ketika mereka berusia 10 tahun.”(HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani)

Hadits ini juga pasti sudah sangat dikenal. Tapi, sudahkah kita memiliki ilmu tentang bagaimana tata caranya? Atau yang penting pukul aja kalau mereka ga mau nurut shalat? Kita punya banyak waktu sebelum ‘memerintahkan mereka’, bukan? Bukankah semua setiap perkataan, perbuatan, hingga yang kita pikirkan akan dimintai pertanggungjawaban? Jadi, mari gunakan masa-masa mumayyiz mereka (di bawah 7 tahun) untuk mulai mencari ilmu yang shahih tentang cara beribadah.

  1. ILMU TENTANG AKHLAK

Oh, yaaa.. banyak sudah kita lihat di linimasa ketika selfie yang ‘tidak beradab’ bocah menjadi kekinian. L Karena itu, kita perlu sekali mempersiapkan amunisi ilmu adab bagi anak, baik itu terhadap Allah, orangtua, teman, tetangga,  dan adab sehari-hari. Sebelum mengajari mereka tentang bagaimana cara berbicara kepada orang tua, makan, minum, bertamu, berbicara, tidur, masuk kamar mandi, belajar dan banyaaak lagi… mari kita cari tahu praktek Rasulullah dan menerapkannya terlebih dulu.

  1. ILMU TENTANG DOA

Doa ini senjata orang beriman dan tentunya orangtua generasi rabbani. Sungguh hanya karena Allah segala sesuatu itu terjadi, bukan semata-mata karena kecanggihan kita mendidik anak. Ada banyak doa shahih yang bisa kita amalkan untuk kebaikan keluarga. Selain yang dicontohkan Rasulullah, beberapa doa juga terdapat di Qur’an seperti dalam doa nabi Nuh dalam surat Nuh ayat 28, doa dalam surat Al-Furqan ayat 74, dan doa nabi Ibrahim untuk anak-anaknya menjadi orang yang menegakkan shalat dalam QS. Ibrahim ayat 40.

  1. ILMU DLL, DST, DSB, DKI, DLLAJ (ABAIKAN 2 SINGKATAN TERAKHIR)

Iyesss… ada banyak ilmu yang kita butuhkan dalam mendidik generasi masa depan. You name it. Dari mulai seni  berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak, strategi menghadapi anak berdasarkan sifat dan karakternya, cara membangun PD anak, cara menumbuhkan potensi dan bakat anak, cara memotivasi, dan baaanyaaak lagi. Alhamdulillah, kita diberikan banyak kemudahan mengakses buku-buku bergizi, kajian-kajian yang mengisi hati, grup-grup pengasuhan yang memompa semangat, seminar dan workshop pengasuhan yang mencerahkan,  pengalaman-pengalaman pengasuhan yang terlihat berhasil dalam prosesnya, dan segala sumber belajar dari yang bersertifikat seperti guru beneran seperti iou.com sampai yang gratis dan menyenangkan macam coursera.

Memangnya boleh? InsyaAllah, selama tidak bertentangan dengan syariat.   Bagaimana tahunya?  Belajar media literacy – karena gak semua yang dikatakan internet itu benar.

Daaan… untuk ilmu syar’i, mari belajar dengan tahapan yang benar karena ilmu syar’i itu bertingkat-tingkat dan membutuhkan ulama yang benar-benar utuh memahaminya. Boleh intip https://klastulistiwa.com/2016/05/20/homeschoolers-pun-perlu-tahu-tahap-tahap-belajar-ilmu-syari/ untuk beberapa tahapannya.

LALU, KAPAN KURIKULUM INI BERAKHIR???

Tentunya tidak setamat SMA, S1, S2, S3, atau saat SK kerja berakhir yaaa. Ibaratnya ‘homeschooling’ itu tidak pernah berakhir. Dan kita, orang tua, adalah homeschoolers seumur hidup meski nanti anak-anak yang kita didik bukan lagi ‘homeschoolers’ di rumah kita. Mereka akan menjadi homeschoolers di rumah mereka selanjutnya.

Karena rumah adalah sekolah.

 

 

 

Homeschooling, Homeschooling Starter Kit

Homeschooling Parents Pun Perlu Tahu Tahap-Tahap Belajar Ilmu Syar’i

image

“Kalau homeschooling, yang ngajar agama siapa?”

Guru dan homeschooling.

Itu salah satu pertanyaan yang (biasanya) paling sering ditanyakan setelah seseorang tahu bahwa satu keluarga memutuskan untuk gak sekolah.

Kalau dulu, saya mungkin bisa dengan pede mengatakan, “Ya fasilitasi aja. Kan sekarang ada Pakde Google. Belajar bareng. Ilmu agama? Kan ada yufid. Ada aplikasi.  Kajian tematik? Banyak. Kurang apa lagi???” Dan benih ujub dan kesombongan pun perlahan mulai mengakar di hati.

Sampai suatu ketika, dalam sebuah majelis ilmu syar’i yang berjalan di atas manhaj salafush shalih, hati ini pun tertampar. Seorang ibu yang nyata-nyata menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya perlu mengkaji  ilmu-ilmu itu terlebih dulu – idealnya. Karena….

BELAJAR AGAMA ITU ADA TAHAPANNYA.

Baik itu aqidah, tafsir, hadits, fiqih, ilmu bahasa, sirah, semuanya!

Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ

Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)

Alhamdulillah. Tamparan itu berbekas ilmu. Lalu, apa sajakah tahapan-tahapan itu ?

  1. Cari guru dan kitab yang benar.
  2. Untuk ILMU AQIDAH, agar tahapannya  benar, seorang penuntut ilmu sebaiknya memulai dengan kitab Al Ushul Ats Tsalatsah, lalu Al Qawaid Al Arba’, Kasyfus Syubhat dan Risalah Ushulil Iman. InsyaAllah, pendidikan pokok in akan mengokohkan akidah yang benar. Setelahnya, seorang penuntut ilmu bisa melanjutkan pada Kitab At Tauhid, Al Aqidah Al Washithiyyah milik Imam Mujaddin Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, kemudian Al Hamawiyyah, lalu At Tadmuriyyah, dan  Al Aqidah Ath Thahawiyyah. Setelah mutqin, seorang pembelajar dapat melanjutkan pada pembahasan sunnah yang terkenal diantaranya Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah milik Al Laalikaa-i, Kitab As Sunnah milik Al Khallal, Kitab As Sunnah milik Abdullah bin Ahmad bin Hambal , Al Ibanah milik Ibnu Bathah Al’Akbari, dan Kitab At Tauhid milik Ibnu Khuzaimah dan banyaaaak kitab-kitab lain yang termasuk dalam bidang ini.
  3. Untuk ILMU TAFSIR, yang paling masyhur tentunya kitab Tafsir Ibni Katsir (774H) rahimahullah dan Kitab Tafsir As Sa’di (1376H) rahimahullah. Lebih khusus lagi, Mukhtashar Tafsir Ibni Katsir milik Muhammad Nasib Ar Rafi’i. Jika mampu menyelesaikan kitab-kitab tadi, maka pelajarilah Tafsir Al Baghawi (516H).
  4. Untuk ILMU HADITS, seorang penuntut ilmu hendaknya memulai dari Al Arba’in An Nawawiyah untuk dihafal dan dipahami, juga membaca penjelasan yang terkandung di dalamnya. Lalu hendaknya secara bertahap mempelajari Umdatul Ahkam kemudian Bulughul Maram, juga dengan syarah-nya. Kemudian, setelah itu barulah ia mampu untuk mempelajari Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dan Kutubus Sittah.
  5. Untuk ILMU FIQIH, tidak cukup hanya membaca hadits-hadits. Perlu sekali mengkaji kitab-kitab fiqih seperti Umdatul Fiqhi yang merinci permasalahan-permasalahan furu’ atau kitab Zaadul Mustaqni. Di antara syarah yang mudah dipelajari adalah kitab As Syarh Al Mumthi’ yang ditulis oleh Syaikh Al Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
  6. Sedangkan dalam Sirah Nabawiyyah, mulailah dengan mempelajari Mukhtashar Sirah Nabawiyyah. Kemudian, bisa mempelajari Sirah Nabawiyyah milik Ibnu Hisyam. No worries karena di zaman ini, alhamdulillah, kitab-kitab sirah sudah banyak yang diringkas. Tapi, tetaplah berhati-hati untuk mengkonsultasikan kitab tersebut kepada para guru yang diakui keilmuannya.

Done, then. Banyak kaaan?

Permasalahan berikutnya adalah… bagaimana kalau guru tersebut tidak ada, atau tempatnya jauh, atau tidak mungkin melakukan perjalanan karena safar tanpa mahram?

Tenang. Ada solusinya, insyaAllah.

Azzamkan dalam hati perkara menemui guru ini. Beli (atau download kalau ada) kitab-kitab tadi atau minimal terjemahannya. Baca lalu catat poin-poin yang penting dan ingin diketahui. Kumpulkan dan bawalah ketika ada kesempatan. Minta terus kemudahan kepada Allah. Bukankah Allah sebaik-baik penolong?

Referensi:

Kajian kitab Al-Jâmi’ fi Ahkâm wa Âdâb Ash-Shibyan karangan Abu ‘Abdillah ‘Âdil bin Abdillâh Âlu Hamdân Al-Ghâmidi

Tahapan Dalam Menuntut Ilmu

Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu

https://almanhaj.or.id/2764-kaidah-kaidah-menuntut -ilmu.html

Lectures of Life, Teacher's Professional Development

Manajemen Pendidikan Islam: Catatan Daurohku

Tulisan ini bertujuan untuk berbagi materi dari sesi “Daurah Khusus Para Pendidik dan Pengelola Lembaga Pendidikan Islam” di Masjid Al-Barkah, Cilengsi pada tanggal 1 Januari 2014. pukul 09:00 – 15:00 WIB. Oya, catatan saya sebelumnya pernah  menampilkan informasi daurah pada  blog ini juga di http://goo.gl/fYtKKw . Pemateri daurah ini adalah  Ustadz DR Erwandi Tarmizi, M.A. yang membawakan materi “Manajemen Pendidikan Islam” dan Ustadz Kurnaedi, Lc. yang membawakan materi “Bingkisan Istimewa untuk Para Pendidik Generasi Islam”. Catatan ini tidak selengkap daurahnya tentu saja. Beberapa bagian gagal terdokumentasi karena beberapa gangguan konsentrasi seperti kelaparan, kebingungan, kefakiran ilmu, dan panggilan alam… hehe… 
 
InsyaAllah, saya tampilkan tautan ke situs yang akan menayangkan video atau catatan daurah yang komplit di masa yang akan datang, jika ada dan sudah diunggah panitia daurah tentunya.
 
Bismillaah….
 
Kesan Pertama Begitu Menggoda
Alhamdulillaah,  kesampaian juga menghadiri daurah setelah pindah ke peradaban 6 bulan yang lalu. Didaulatlah Masjid Al  Barkah Cileungsi sebagai tempat perdana mengkaji ilmu setelah sekian lama berencana (padahal niatnya aja yang  kurang -_-). 
 
Kesan pertama begitu menggoda. Masjid dua lantai ini nampak rapi tanpa pedagang  dan sampah. Pedagang dilokalisasi di gang sebelah masjid dan kios-kios depannya, sedangkan sampah tentunya dilokalisasi di tempat sampah.. hehe… 
 
Acara dijadwalkan dimulai jam 9.00 dan saya datang  15 menit  sebelumnya. Tapi, subhanallaah, bahkan belum dimulai pun sudah banyak yang hadir. Di  depan meja panitia terlihat antrian akhwat yang menunjukan surat pengantar dari lembaga untuk bisa masuk demi ilmu gratis ini. Kami hanya ditawari kupon infaq makan siang seharga Rp 10.000. Terlihat panitia yang sigap membagikan plastik untuk membungkus alas kaki kami karena penuhnya tempat penitipan. 
 
Setelah menuliskan nama di daftar peserta, cepat-cepat saya naik ke lantai 2 untuk memasuki ruangan khusus akhwat. Wah, saya harus puas mendapatkan shaf tengah,  barisan kesepuluh sepertinya. Weleh, menyesal juga tidak datang lebih pagi. Acara  dimulai tepat waktu  dengan jumlah partisipan yang memenuhi ruangan pukul 9 itu. Ngga ada tuh,  stereotip “Late is Our Nature” disini. Everything starts  punctually.
 
Nah, satu hal lagi yang membuat takjub adalah toiletnya yang sama-sama terletak di lantai 2. Awalnya sempat ragu sebentar untuk masuk tempat wudhu dan toiletnya karena terlintas  stereotip toilet umum yang tidak bersih.  Tapi,  berhubung sudah dipanggil,  saya beranikan diri sesungguh hati untuk memasukinya (halah!). 
 
Dan ternyata, saudara sekalian,  toilet dan tempat wudhu di sana jauh dari stereotip tadi.  Lantai luarnya yang kering dan bersih membuat akhwat yang datang bisa leluasa mengenakan kaus kakinya.  Terdapat gorden khusus kamar mandi tebal yang membatasi area kering dan tempat wudhu.  Tempat  wudhu dan toiletnya sangatlah bersih dan terjaga kesuciannya. Bahkan, kloset  duduknya bersih dari tapak kaki, kering, dengan flush yang berfungsi (huwaw!)  – hal yang sulit ditemukan di toilet umum. Subhanallaah,  inikah cerminan muslim sesungguhnya  yang murni mengikuti  Quran dan Sunnah? Typeless jadinya…
 
 

SESI 1: MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

Sesi yang dibawakan Ustadz DR Erwandi Tarmizi, M.A. dengan moderator, yang saya lupa namanya, berlangsung seru karena sifatnya yang lebih ke sharing. Beberapa solusi didapatkan pula dari sesi yang berlangsung interaktif ini. Sayangnya, selama 30 menit pertama, sistem audionya kurang mendukung.. hihiks… 
 
Dalam 30 menit itu, beberapa statement sempat terdengar. Seperti “Anak-anak memiliki titik kelemahan bisa jadi kelebihan dan sebaliknya.” Intinya, pendidik generasi Islam seharusnya mampu menggali lebih lanjut. Terdengar juga kalimat yang menyatakan “Ilmu yang paling utamanya adalah ilmu dari Allah”, namun kurang jelas konteksnya apa.. mohon maaf… -_-.  Yang terakhir adalah satu pernyataan yang sangat saya suka yaitu “Sistem pendidikan Islam  seyogyanya bisa diakses seluas mungkin oleh seluruh kalangan.” 
 

Menyoal Kurikulum

Catatan khusus ya… sesi ini juga masih agak-agak kurang terdengar. Jadi, mohon maaf jika kurang lengkap. Nah, disini moderator mengangkat isu mengenai porsi pendidikan agama. Bagaimana seharusnya sebuah sekolah Islam ‘membagi’ porsi agama di tengah tuntutan kurikulum? Ust. Erwandi menjawab bahwa anak-anak sangat baik jika diajari Bahasa Arab di awal usianya untuk mampu memahami Al Quran. Beliau mengutip perkataan Ibn Khaldun yang menganjurkan agar anak-anak terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan. Menurut pandangan Ibn Khaldun, mengajarkan al-Qur’an  mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur’an itu sendiri karena anak akan membaca apa yang tidak dimengerti. 
 
Selain itu, ada poin penting yang Ust. Erwandi tekankan melihat fenomena menjamurnya SDIT, TKIT, dan IT-IT lainnya di Indonesia dengan beragam ‘kelebihan’ yang ditawarkan, seperti hafal berapa juz sampai menjanjikan untuk menjadikan si siswa ilmuwan dan ulama sekaligus di masa depan. Sayangnya, sekolah-sekolah (dengan beragam bobot kurikulum yang diusungnya) ini cenderung memberi beban berlebihan kepada anak. Beliau bertanya kepada hadirin ,(Subhanallaah… Bertanya? Betapa tawaddhu-nya  ustadz yang bergelar doktor ini) adakah seorang tokoh yang menjadi pakar dari dua ilmu yang berbeda: ilmu sains dan ilmu syar’i? Beliau memberi contoh Imam Nawawi yang tatkala belajar ilmu kedokteran memiliki kesulitan belajar ilmu syar’i. Disini, Allah menutup pintu mempelajari yang satu dan membuka yang lain.
 
Takhosus atau spesialisasi adalah hal yang perlu diterapkan. Untuk mempelajari ilmu syari diperlukan orang jenius.  Karena orang yang mempelajari ilmu syari harus mampu mengeluarkan hukum syar’i.  Seperti Rasulullah mengatakan, “Umatku yang paling menguasai ilmu Faraidh adalah Zaid Bin Tsabit” (HR. Hakim). Ustadz juga menyebutkan nama-nama lain yang mumpuni dalam hal khusus, namun tidak dapat saya tangkap sempurna – maafkan… Intinya, jangan bebani anak dengan banyak hal atau banyak pelajaran.  Arahkan anak sesuai minatnya.  Islam memperhatikan individualisasi dalam mendidik. Janganlah pula dipaksakan yang kita mau.  Jika sekolah formal ingin memasukkan ilmu syar’i,  jangan bebani anak dengan ilmu baru.  Integrasikan ilmu syar’i ini dalam dalam pelajaran. Beliau menyebutnya sebagai kurikulum tersembunyi.
 
Ustadz lalu berujar bahwa guru agama sangatlah berpengaruh besar. Beliau mengisahkan seorang guru agama yang dipindahkan jadi guru kesenian karena dinilai terlalu berpengaruh. Ketika ia ditanya seorang anak apakah gambar yang dihasilkan bagus atau tidak, dia tidak bilang bagus. Lalu, anak itu diarahkan untuk mengenal Allah yang ‘lukisan’-nya jauh lebih indah. MasyaAllaah…
 
Kemudian, Ustaz Erwandi memaparkan kondisi Saudi Arabia dimana beliau menyekolahkan kedua anaknya disana. 6 tahun lalu,  di Saudi Arabia,  mulai diterapkan kurikulum yang memulangkan anak jam 12 serta dibebani sesuai kemampuan anak. Kondisi psikologi mereka sangat diperhatikan. Dan, (ini bagian yang saya sukai) sama sekali tidak ada test hingga akhir masa sekolah dasar! Hal ini membuahkan hasil dalam pencapaian pendidikan yang membuktikan bahwa jika terlalu banyak hal yang diajarkan (dan dihapalkan – saya) hasilnya NOL. Tidak ada yang tercapai: tidak jadi ilmuwan, tidak pula menguasai ilmu syar’i. 
 
Sesi kurikulum ditutup dengan pertanyaan,  adakah siswa disekolah hadirin yang hapal 10 juz dan dapat nilai mafiki 10. Kemudian,  8 orang mengangkat tangan.  Salah satu peserta yang ditanyai mengatakan 4 dari 8 orang anak memenuhi syarat pertanyaan itu. Ternyata,  dalam setiap pelajaran diselipkan pembelajaran dari ayat-ayat  Quran  dan sunnah Rasulullah yang sebelumnya disebut Ust. Erwandi  sebagai kurikulum tersembunyi.
 
Sesi pertanyaan pun dibuka. Sepertinya banyak pertanyaan yang diajukan. Namun karena kondisi pribadi (harus ke toilet yang ternyata antri – maaf) maka saya hanya bisa menuliskan satu saja yang bisa saya tangkap.
 
Satu penanya berasal dari Banjarmasin (masyaAllaah). Ibu itu bertanya mengenai pemaduan  kurikulum barat dengan Islam. Ustadz menanggapi bahwa jika ingin memadukan kurikulum, pastikan harus orang berilmu. Terkadang apa yang kita anggap baik belum tentu baik. Karena itu, alangkah baiknya jika sekolah yang memiliki keperluan penggabungan kurikulum barat dan Islam untuk memiliki dewan syariat untuk memutuskan perkara  ini. Sesi kurikulum pun berakhir dengan satu pernyataan dari moerator bahwa diperlukan waktu yang lapang untuk membahas hal ini. 
 

Tentang Guru

alifbataSub sesi kedua dengan Ustadz Erwandi pun dibuka. Beliau menekankan para guru (termasuk beliau) harus terus menerus memperbaiki diri, karena gurulah yang pertama kali dilihat dan dirujuk oleh siswa. Disadari atau tidak, siswa memperhatikan dan meniru gurunya. 
 
Hal yang pertama kali harus dijadikan perhatian oleh manajemen sekolah Islam ketika merekrut guru adalah suluk dan akhlak dari kandidat sambil menyesuaikan persyaratan akademik. Namun, jika manajemen sekolah menemukan dan berhasil merekrut guru dengan akademik yang sesuai (bahkan melebihi persyaratan) serta suluk dan ahlak yang baik, maka manajemen perlu mempertahankan guru tersebut!
 
Kemudian, ada pertanyaan dari hadirin mengenai ikatan kontrak. Seberapakah perlunya dalam manajemen sekolah Islam? Ustadz Erwandi mengatakah setiap manajemen sekolah Islam seyogyanya melakukan akad ijarah yang jelas dari awal.  Sampaikan sejelas mungkin hingga tak ada keraguan dan tafsir yang berbeda. 
 
Diriwayatkan oleh Imam Al-Tutmudzi di dalam sunahnya dari Abdullah bin Muhsin Al-Khutami bahwa Nabi Muhammand shalallahu ‘alai wasallam bersabda: “Barangsiapa yang pada waktu paginya merasakan ketentraman hati, sehat pada jasmaninya, dia memilki makanan untuk hari itu maka sungguh seakan dunia telah dikumpulkan untuk dirinya”. [Al-Turmudzi: 4/547 no: 2346].
 
Merujuk hadits di atas, seyogyanya penyelenggara pendidikan Islam dapat memberikan  rasa tenteram untuk bekerja di sekolah tersebut, memastikan kesehatannya, dan kecukupan bagi diri dan keluarganya. Memastikan kecukupan guru adalah hal yang sangat penting. 
 
Ustadz Erwandi mengatakan (berdasarkan pengalamannya), di Saudi Arabia, pemerintah sangat memerhatikan kesejahteraan guru. Jika guru memiliki kesulitan dari tidak punya rumah hingga pembantu, akan dibantu oleh pemerintah atau pengelola pendidikan karena itulah syariat. Secara logika pun, ketika hak guru sudah ditunaikan, maka akan sangat mudah memintanya memaksimalkan potensi yang dimiliki.
 
Kemudian, moderator bertanya, di sini terdapat ‘uang bangunan’ untuk membangun fasilitas yang baik. Lalu,  ketika manajemen dihadapkan pada pilihan untuk memilih menyejahterakan guru atau membangun fasilitas, mana yang diutamakan?  Bangunan atau guru? 
 
Ustadz Erwandi menanggapi dengan sebuah hadits yang disahihkan Al-Albani dimana  Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak akan datang kiamat sehingga manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid”. Itulah tanda akhir zaman dimana orang bermegah-megah  membangun masjid. Ingat,  pendidikan itu membangun manusia…  bukan gedung!  Maka,  kemampua guru harus menjadi  prioritas utama,  bukan dijadikan prioritas kedua setelah fasilitas!
 
Saat memasuki sesi tanya jawab, saya hanya bisa menangkap dua pertanyaan dan jawaban. 
 
Pertanyaan pertama mengenai hukum memberikan penalti kepada karyawan yang tidak menyelesaikan masa kontrak. Ust. Erwandi menyatakan hal itu diperkenankan dan disebut sebagai *** (maaf, istilahnya tidak bisa saya tangkap dengan jelas.. mungkin ‘syafil dazali’ namanya?). Seharusnya, akad yang sudah disetujui memang harus diselesaikan sesuai perjanjian awal – baik  dengan maupun tanpa penalti..
 
Pertanyaan kedua mengenai boleh tidaknya menggunakan beragam metode pendidikan seperti bermain peran, menggunakan musik, praktek, dan sebagainya. Ustadz Erwandi mengatakan bahwa sebenarnya Rasulullah sudah mengajarkan hal tersebut, seperti mengajarkan anak dengan bermain, praktek dengan melakukan sesuatu. Sebenarnya boleh, asal tidak menyelisihi sunnah, seperti tidak menggunakan musik dalam pembelajaran. (Tentunya semakin banyak metode menarik, semakin mampu seorang guru menjauhkan musik dari pembelajaran, bukan? -pendapat saya pribadi)
 
Pertanyaan terakhir yang saya tangkap adalah bagaimana dengan lembaga pendidikan yang meminta pendidik untuk menghinari kata tidak. Ustadz Erwandi mengatakan bahwa meminimalkan kata tersebut dan mengubahkan menjadi kalimat yang lebih baik, tentu saja boleh. Hany asaja, jangan dihilangkan sama sekali karena hal tersebut bertentangan dengan syariat.
 
Dan sesi ini pun berakhir pukul 11.30 untuk memberi kesempatan shalat dan makan siang.
 
 

SESI 2: BINGKISAN UNTUK PENDIDIK GENERASI ISLAM

 
Sesi ini dibawakan oleh Ust. Kurnaedi, Lc. Beliau memiliki cara penyampaian berbeda dengan yang sebelumnya dimana sesi tanya jawab dilakukan menggunakan kertas. Bagian yang saya sukai dari sesi ini adalah pernyataan beliau bahwa mengajar adalah karunia Allah yang diberikan pada orang-orang pilihan. Karenanya, menjadi pendidik adalah karunia Allah yang wajib disyukuri. Saat ini, menjadi guru bukanlah semata karena  pendidikan atau pemahaman – melainkan karena karunia Allah.  
 
Karena itu, seorang pendidik mengemban amanah sebagai berikut:
  1. Menyampaikan materi /ilmu. Ingatlah bahwa kita akan ditanyai Allah mengenai apa yang kita ajarkan.  Karena itu, sebagai guru, kita harus tahu bahwa tugas mulia ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
  2. Melaksanakan tugas tarbiyah/ mendidik/ menasehati. Ingatlah bahwa segala tindakan, seperti masuk atau keluar kelas seharusnya tepat waktu. Pikiran seorang guru,  sebaiknya jauh ke akhirat karena ketika orientasi kita duniawi saja maka kita akan menemukan kekurangan dimanapun kita bekerja.  Akhirnya,  kita jadi tidak bersyukur dan melupakan amanah tarbiyah ini.  Tugas kita di abad ini lebih berat karena kita menjadi pengganti orang tua yang bisa jadi tidak memiliki waktu untuk anak-anaknya.
  3. Mensifati diri dengan sifat sabar dan tidak mudah marah.  Dalam   (As-Sajdah: 24) dikatakan “Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” Seorang pengajar adalah pemimpin yang seharusnya memiliki perhatian terhadap muridnya seperti terhadap dirinya dan anak-anaknya sendiri. Pendidik juga harus sabar menghadapi  kekurangan adaban dari murid karena pada dasarnya manusia memang sifanya kurang. 
Ustadz Kurnaedi kemudian membekali jamaah dengan 10 nasihat untuk pendidik yang berasal dari Qur’an dan Sunnah yang sangat baik diterapkan di dalam kelas:
  1. Ucapkan Assalaamu’alaikum ketika masuk kelas. Caranya, biarkan anak duduk dahulu, lalu ucapkanlah. Kemudian, didiklah agar mereka terbiasa pula membalas salam.
  2. Tampakkan wajah berseri (meskipun banyak hutang). JIka “Senyum anda terhadap saudara anda adalah sodaqoh.”  Maka, murid kita yang paling berhak mendapatkannya.
  3. Membuka pelajaran dengan khutbah hajjah, atau mukadimmah yang secukupnya. Jangan juga terlalu lama karena guru yang terlalu banyak bicara akan menghancurkan masa depan anak didiknya.
  4. Menggunakan kalimat yang baik di depan santri.  Jika siswa menjawab benar, biasakanlah mengucapkan “Ahsanta.  BarakAllaah fik“. Jika ternyata jawabannya belum tepat, ucapkan “Aslahakallaahu/ aslahakillaahu” (Semoga Allah memperbaiki Anda). Ingatlah sebuah hadits dimana Rasulullah bersabda  “Kata-kata yang baik adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari no. 2707 dan Muslim no. 2332)
  5. Menjauhi perkataan yang mengandung celaan krena siswa belajar perkataan yang baik dan buruk dari gurunya.
  6. Menegur murid-murid yang tidur atau sibuk sendiri (main handphone, tidak mendengarkan, dst). Tapi, jangan juga mencontohkan akhlak yang buruk, misalnya dengan  membalas sms di dalam kelas. 🙂
  7. Mengatur waktu menjawab pertanyaan dan tidak membiasakan murid untuk menginterupsi meski mengacungkan tangan.
  8. Memperhatikan adab-adab islami dan menggunakan kesempatan untuk mencontohkan ketika bergaul dengan siswa. Misalnya, ucapkan alhamdulillah ketika bersin, dst.
  9. Memperlihatkan  kebersihan dan kerapihan.  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar biji dzarah dari kesombongan.” Seorang berkata:”Ya Rasulullah, seseorang senang terhadap sandalnya yang bagus dan pakaiannya yang bagus?” Beliau bersabda : ”Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR Muslim dari shahabat Abdullah bin Mas’ud).
  10. Jika bekerja di tempat yang ikhtilat,  tempatkanlah laki-laki di depan dan perempuan di belakang.
 
Untuk sesi tanya-jawab, berhubung alam memanggil, lagi. -__-“, saya hanya bisa menangkap beberapa poin  sebagai berikut:
 
  • Mendidik anak yang nakal? Sabar, tegas, konsisten, dan tetap tunjukan ahlak yang baik.
  • Bolehkah guru ikhwan mengajar akhwat dan sebaliknya? Sebisa mungkin,  guru ikhwan mengajar kelas ikhwan dan sebaliknya.
  • Apa hukumnya jika memiliki program studi tur ke luar kota/ negeri? Itu hukumnya safar. Pastikan siswa/ guru akhwat didampingi mahrom.
  • Apa metode terbaik untuk pesantren? Metode masing-masing pesantren berbeda, karenanya selalu perbaiki diri dan pastikan tidak menyelisihi Qur’an dan sunnah.
Alhamdulillaah… waktu menunjukan pukul 14.30 dan sudah waktunya pulang. Ilmu hari ini sungguh padat dan saya bersyukur diberikan kesempatan untuk menghadirinya..
Akhir kata, mohon maaf (lagi) jika terdapat salah penulisan… namanya juga newbie dalam hal laporan per-dauroh-an ini… ^___^
Semoga tulisan ini bermanfaat, terutama bagi para pendidik generasi islam, insyaAllaah.
 
My Reflection

Ketika Idul Fitri Menyenangkan dan Ramadhan Memberatkan

“Berapa baju lebaran yang kamu punya?” begitu kira-kira ungkapan yang sering saya dengar sewaktu dari teman, Tante, Om, atau orang dewasa lain menjelang dan di hari Idul Fitri. Sungguh saat itu saya merasa bangga ketika jumlah baju saya lebih atau setidaknya sama dengan jumlah baju yang dimiliki teman-teman atau saudara.

Idul Fitri atau lebaran identik dengan baju baru, kue, dan uang. Uang? Yup, uang! Lembaran yang didapatkan dari orang dewasa yang ditemui saat itu. Lama kelamaan, ketika mulai remaja, kebosanan pun mulai melanda. Meskipun demikian, budaya belanja, buat kue, dan ‘salam tempel’ pun masih dilakukan. Only that.

Bagaimana dengan Ramadhan? Sungguh, dari kecil hingga kuliah, yang saya pikirkan tentang Ramadhan hanyalah bulan yang berat dan membosankan yang harus dilalui hingga ‘Hari Kemenangan’. Hari dimana kita bisa memamerkan baju terbaik kita. Bulan sebelum hari menyenangkan itu, saya diwajibkan puasa, shalat tarawih, bersedekah.. dengaan alasan: arena semua melakukan itu. Jika sewaktu kecil saya melakukan itu karena hadiah, maka setelah remaja saya melakukan itu karena malu. Malu jika tidak melalukannya karena orang lain melaksanakannya. Sungguh sangat artifisial. Palsu. Saya tidak pernah tahu atau tidak peduli mengenai arti bulan Ramadhan maupun hal-hal berarti yang bisa dilakukan untuk mengisinya. I did not care at all.

Apa yang saya rasakan ketika anak-anak hingga remaja itu hampir sama dengan apa yang saya dengar di ruangan berisi puluhan remaja yang diikutkan untuk mendengarkan petuah dari seorang ustadz beberapa saat lalu di bulan. Ramadhaan tahun 2013M ini. Awal tausyiah, sang Ustadz bertanya apa makna Ramadhan dan banyak dari anak-anak yang menjawab “Ramadhan is boooring!” “Ramadhan itu berat.” “Ramadhan itu melelahkan”.

Subhanallah.. seketika saya tersentak. Saya mengingat beberapa tahun lalu ketika saya memiliki pendapat yang sama. Bedanya dengan saat itu, tidak ada orang dewasa yang bertanya demikian dan saya pun hanya berani berkata demikian kepada teman terdekat saja. Seingat saya, jarang atau malah sama sekali tidak ada penguatan mengenai keutamaan Ramadhan. Kalaupun ada, sepertinya hanya karena orang dewasa tersebut hanya menunaikan kewajiban. Mereka tidak (mau) menemukan cara agar Mierza kecil itu tau arti Ramadhan.

Ya Rabb… itu membuat saya takut dengan amanah yang saya emban sebagai ibu dan guru. Sungguh saya takut apa yang saya lakukan itu belum cukup untuk memahamkan arti dan keutamaan Ramadhan bagi seoramg Muslim.

Sungguh, saya takut telah menyia-nyiakan masa muda anak-anak kandung dan didik saya. Bukankah Rasulullah telah bersabda:

“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampai dia ditanya tentang empat perkara: (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang masa mudanya untuk apa dia gunakan, (3) tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan (4) untuk apa dia belanjakan.” (HR. At-Tirmidzi no. 2417, dan beliau berkata: “Hadits hasan shahih.” Diriwayatkan juga dari sahabat Abu Barzah Nadhlah bin ‘Ubaid Al-Aslamiz, dan diriwayatkan Al-Khathib dalam kitab Iqtidha’ Al-’Ilmi Al-’Amal. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi no. 2417. Beliau juga berkata dalam Ash-Shahih Al-Jami’ hadits no. 7300: “Shahih”, dan dalam As-Silsilah Ash-Shahihah hadits no. 9461).

Namun tentunya Allah memberikan orangtua dan guru ketakutan agar bisa menjadi hamba yang kebih kuat. Seharusnya ketakutan ini menjadi senjata yang maha dahsyat untuk mentransformasi orang dewasa manapun – termasuk saya – untuk mencari terus jalan terbaik dalam memahamkan Islam kepada para khalifah masa depan: anak-anak kita. Ketakutan seharusnya menjadi pecut bagi para caretaker untuk mencari ilmu yang syar’i dalam memahamkan pengertian tentang Islam yang benar kepada anak-anak.

Bersambung ke bagian 2: Mendidik anak memahami Islam yang kaffah.