“Selasa, 5 Juni 2012 15:39 WIB | Semarang (ANTARA News) –
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh mengatakan pada tahun depan, derajat kesulitan soal ujian nasional (UN) akan lebih ditingkatkan… Ia mengatakan ada dua skenario yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas UN, yakni dengan meningkatkan derajat kesulitan soal atau dengan menaikkan standar kelulusan UN.”
Sungguh terkejut saya membaca tajuk di atas. Betapa tidak! Saya yang baru saja keluar dari mulut buaya bersama siswa-siswi saya pada tahun ini, harus bersiap-siap masuk ke mulut harimau tahun depan. Apa sebelumnya tidak dipikirkan tingkat stres yang tidak perlu menjelang ujian yang harus diderita anak-anak? Ataukah budaya menghukum (jika tidak dikatakan menyiksa)sudah demikian kuat mengakar di urat nadi bangsa Indonesia karena terlalu lama dijajah? Ya, kambing hitamkan saja sejarah tanpa belajar. 😦
Apa sebenarnya tujuan ujian semacam ini jika bukan untuk ‘memetakan’ ketidak mampuan? Jika memang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia… Well… Pernyataan semacam itu tidak seharusnya dikeluarkan sedini itu. Bukankah pendidikan besar kaitannya dengan riset? It makes me feel that all of these testing thingy in Indonesia is merely superstitious. (Apa bahasa Indonesianya superstitious ya?) Bagaimana tidak, keputusan untuk menyatakan pendapat di atas berasal sangat dipertanyakan dan tidak berdasar. Kemungkinan besar berasal dari katanya… katanya.. katanya… 😦
Saya jadi mempertanyakan lagi hubungan antara UN dan pemetaan atau idealnya perbaikan pendidikan. Jika memang UN ini berfungsi untuk perbaikan mutu pendidikan, apa buktinya ya? Soal-soal ajaib yang dijadikan pemetaan hanya menguji kemampuan tingkat berpikir rendah. Ayolah… berapa banyak soal yang berisi aplikasi? Kebanyakan malah harus dihafal dan dilupakan setelah ujian selesai.
Ah sudahlah… toh pada akhirnya gurunya juga yang harus berjuang. Melakukan apa yang harus dilakukan dengan baik, benar, ikhlas, dan cerdas.