Lectures of Life, Teacher's Professional Development

Manajemen Pendidikan Islam: Catatan Daurohku

Tulisan ini bertujuan untuk berbagi materi dari sesi “Daurah Khusus Para Pendidik dan Pengelola Lembaga Pendidikan Islam” di Masjid Al-Barkah, Cilengsi pada tanggal 1 Januari 2014. pukul 09:00 – 15:00 WIB. Oya, catatan saya sebelumnya pernah  menampilkan informasi daurah pada  blog ini juga di http://goo.gl/fYtKKw . Pemateri daurah ini adalah  Ustadz DR Erwandi Tarmizi, M.A. yang membawakan materi “Manajemen Pendidikan Islam” dan Ustadz Kurnaedi, Lc. yang membawakan materi “Bingkisan Istimewa untuk Para Pendidik Generasi Islam”. Catatan ini tidak selengkap daurahnya tentu saja. Beberapa bagian gagal terdokumentasi karena beberapa gangguan konsentrasi seperti kelaparan, kebingungan, kefakiran ilmu, dan panggilan alam… hehe… 
 
InsyaAllah, saya tampilkan tautan ke situs yang akan menayangkan video atau catatan daurah yang komplit di masa yang akan datang, jika ada dan sudah diunggah panitia daurah tentunya.
 
Bismillaah….
 
Kesan Pertama Begitu Menggoda
Alhamdulillaah,  kesampaian juga menghadiri daurah setelah pindah ke peradaban 6 bulan yang lalu. Didaulatlah Masjid Al  Barkah Cileungsi sebagai tempat perdana mengkaji ilmu setelah sekian lama berencana (padahal niatnya aja yang  kurang -_-). 
 
Kesan pertama begitu menggoda. Masjid dua lantai ini nampak rapi tanpa pedagang  dan sampah. Pedagang dilokalisasi di gang sebelah masjid dan kios-kios depannya, sedangkan sampah tentunya dilokalisasi di tempat sampah.. hehe… 
 
Acara dijadwalkan dimulai jam 9.00 dan saya datang  15 menit  sebelumnya. Tapi, subhanallaah, bahkan belum dimulai pun sudah banyak yang hadir. Di  depan meja panitia terlihat antrian akhwat yang menunjukan surat pengantar dari lembaga untuk bisa masuk demi ilmu gratis ini. Kami hanya ditawari kupon infaq makan siang seharga Rp 10.000. Terlihat panitia yang sigap membagikan plastik untuk membungkus alas kaki kami karena penuhnya tempat penitipan. 
 
Setelah menuliskan nama di daftar peserta, cepat-cepat saya naik ke lantai 2 untuk memasuki ruangan khusus akhwat. Wah, saya harus puas mendapatkan shaf tengah,  barisan kesepuluh sepertinya. Weleh, menyesal juga tidak datang lebih pagi. Acara  dimulai tepat waktu  dengan jumlah partisipan yang memenuhi ruangan pukul 9 itu. Ngga ada tuh,  stereotip “Late is Our Nature” disini. Everything starts  punctually.
 
Nah, satu hal lagi yang membuat takjub adalah toiletnya yang sama-sama terletak di lantai 2. Awalnya sempat ragu sebentar untuk masuk tempat wudhu dan toiletnya karena terlintas  stereotip toilet umum yang tidak bersih.  Tapi,  berhubung sudah dipanggil,  saya beranikan diri sesungguh hati untuk memasukinya (halah!). 
 
Dan ternyata, saudara sekalian,  toilet dan tempat wudhu di sana jauh dari stereotip tadi.  Lantai luarnya yang kering dan bersih membuat akhwat yang datang bisa leluasa mengenakan kaus kakinya.  Terdapat gorden khusus kamar mandi tebal yang membatasi area kering dan tempat wudhu.  Tempat  wudhu dan toiletnya sangatlah bersih dan terjaga kesuciannya. Bahkan, kloset  duduknya bersih dari tapak kaki, kering, dengan flush yang berfungsi (huwaw!)  – hal yang sulit ditemukan di toilet umum. Subhanallaah,  inikah cerminan muslim sesungguhnya  yang murni mengikuti  Quran dan Sunnah? Typeless jadinya…
 
 

SESI 1: MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

Sesi yang dibawakan Ustadz DR Erwandi Tarmizi, M.A. dengan moderator, yang saya lupa namanya, berlangsung seru karena sifatnya yang lebih ke sharing. Beberapa solusi didapatkan pula dari sesi yang berlangsung interaktif ini. Sayangnya, selama 30 menit pertama, sistem audionya kurang mendukung.. hihiks… 
 
Dalam 30 menit itu, beberapa statement sempat terdengar. Seperti “Anak-anak memiliki titik kelemahan bisa jadi kelebihan dan sebaliknya.” Intinya, pendidik generasi Islam seharusnya mampu menggali lebih lanjut. Terdengar juga kalimat yang menyatakan “Ilmu yang paling utamanya adalah ilmu dari Allah”, namun kurang jelas konteksnya apa.. mohon maaf… -_-.  Yang terakhir adalah satu pernyataan yang sangat saya suka yaitu “Sistem pendidikan Islam  seyogyanya bisa diakses seluas mungkin oleh seluruh kalangan.” 
 

Menyoal Kurikulum

Catatan khusus ya… sesi ini juga masih agak-agak kurang terdengar. Jadi, mohon maaf jika kurang lengkap. Nah, disini moderator mengangkat isu mengenai porsi pendidikan agama. Bagaimana seharusnya sebuah sekolah Islam ‘membagi’ porsi agama di tengah tuntutan kurikulum? Ust. Erwandi menjawab bahwa anak-anak sangat baik jika diajari Bahasa Arab di awal usianya untuk mampu memahami Al Quran. Beliau mengutip perkataan Ibn Khaldun yang menganjurkan agar anak-anak terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan. Menurut pandangan Ibn Khaldun, mengajarkan al-Qur’an  mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur’an itu sendiri karena anak akan membaca apa yang tidak dimengerti. 
 
Selain itu, ada poin penting yang Ust. Erwandi tekankan melihat fenomena menjamurnya SDIT, TKIT, dan IT-IT lainnya di Indonesia dengan beragam ‘kelebihan’ yang ditawarkan, seperti hafal berapa juz sampai menjanjikan untuk menjadikan si siswa ilmuwan dan ulama sekaligus di masa depan. Sayangnya, sekolah-sekolah (dengan beragam bobot kurikulum yang diusungnya) ini cenderung memberi beban berlebihan kepada anak. Beliau bertanya kepada hadirin ,(Subhanallaah… Bertanya? Betapa tawaddhu-nya  ustadz yang bergelar doktor ini) adakah seorang tokoh yang menjadi pakar dari dua ilmu yang berbeda: ilmu sains dan ilmu syar’i? Beliau memberi contoh Imam Nawawi yang tatkala belajar ilmu kedokteran memiliki kesulitan belajar ilmu syar’i. Disini, Allah menutup pintu mempelajari yang satu dan membuka yang lain.
 
Takhosus atau spesialisasi adalah hal yang perlu diterapkan. Untuk mempelajari ilmu syari diperlukan orang jenius.  Karena orang yang mempelajari ilmu syari harus mampu mengeluarkan hukum syar’i.  Seperti Rasulullah mengatakan, “Umatku yang paling menguasai ilmu Faraidh adalah Zaid Bin Tsabit” (HR. Hakim). Ustadz juga menyebutkan nama-nama lain yang mumpuni dalam hal khusus, namun tidak dapat saya tangkap sempurna – maafkan… Intinya, jangan bebani anak dengan banyak hal atau banyak pelajaran.  Arahkan anak sesuai minatnya.  Islam memperhatikan individualisasi dalam mendidik. Janganlah pula dipaksakan yang kita mau.  Jika sekolah formal ingin memasukkan ilmu syar’i,  jangan bebani anak dengan ilmu baru.  Integrasikan ilmu syar’i ini dalam dalam pelajaran. Beliau menyebutnya sebagai kurikulum tersembunyi.
 
Ustadz lalu berujar bahwa guru agama sangatlah berpengaruh besar. Beliau mengisahkan seorang guru agama yang dipindahkan jadi guru kesenian karena dinilai terlalu berpengaruh. Ketika ia ditanya seorang anak apakah gambar yang dihasilkan bagus atau tidak, dia tidak bilang bagus. Lalu, anak itu diarahkan untuk mengenal Allah yang ‘lukisan’-nya jauh lebih indah. MasyaAllaah…
 
Kemudian, Ustaz Erwandi memaparkan kondisi Saudi Arabia dimana beliau menyekolahkan kedua anaknya disana. 6 tahun lalu,  di Saudi Arabia,  mulai diterapkan kurikulum yang memulangkan anak jam 12 serta dibebani sesuai kemampuan anak. Kondisi psikologi mereka sangat diperhatikan. Dan, (ini bagian yang saya sukai) sama sekali tidak ada test hingga akhir masa sekolah dasar! Hal ini membuahkan hasil dalam pencapaian pendidikan yang membuktikan bahwa jika terlalu banyak hal yang diajarkan (dan dihapalkan – saya) hasilnya NOL. Tidak ada yang tercapai: tidak jadi ilmuwan, tidak pula menguasai ilmu syar’i. 
 
Sesi kurikulum ditutup dengan pertanyaan,  adakah siswa disekolah hadirin yang hapal 10 juz dan dapat nilai mafiki 10. Kemudian,  8 orang mengangkat tangan.  Salah satu peserta yang ditanyai mengatakan 4 dari 8 orang anak memenuhi syarat pertanyaan itu. Ternyata,  dalam setiap pelajaran diselipkan pembelajaran dari ayat-ayat  Quran  dan sunnah Rasulullah yang sebelumnya disebut Ust. Erwandi  sebagai kurikulum tersembunyi.
 
Sesi pertanyaan pun dibuka. Sepertinya banyak pertanyaan yang diajukan. Namun karena kondisi pribadi (harus ke toilet yang ternyata antri – maaf) maka saya hanya bisa menuliskan satu saja yang bisa saya tangkap.
 
Satu penanya berasal dari Banjarmasin (masyaAllaah). Ibu itu bertanya mengenai pemaduan  kurikulum barat dengan Islam. Ustadz menanggapi bahwa jika ingin memadukan kurikulum, pastikan harus orang berilmu. Terkadang apa yang kita anggap baik belum tentu baik. Karena itu, alangkah baiknya jika sekolah yang memiliki keperluan penggabungan kurikulum barat dan Islam untuk memiliki dewan syariat untuk memutuskan perkara  ini. Sesi kurikulum pun berakhir dengan satu pernyataan dari moerator bahwa diperlukan waktu yang lapang untuk membahas hal ini. 
 

Tentang Guru

alifbataSub sesi kedua dengan Ustadz Erwandi pun dibuka. Beliau menekankan para guru (termasuk beliau) harus terus menerus memperbaiki diri, karena gurulah yang pertama kali dilihat dan dirujuk oleh siswa. Disadari atau tidak, siswa memperhatikan dan meniru gurunya. 
 
Hal yang pertama kali harus dijadikan perhatian oleh manajemen sekolah Islam ketika merekrut guru adalah suluk dan akhlak dari kandidat sambil menyesuaikan persyaratan akademik. Namun, jika manajemen sekolah menemukan dan berhasil merekrut guru dengan akademik yang sesuai (bahkan melebihi persyaratan) serta suluk dan ahlak yang baik, maka manajemen perlu mempertahankan guru tersebut!
 
Kemudian, ada pertanyaan dari hadirin mengenai ikatan kontrak. Seberapakah perlunya dalam manajemen sekolah Islam? Ustadz Erwandi mengatakah setiap manajemen sekolah Islam seyogyanya melakukan akad ijarah yang jelas dari awal.  Sampaikan sejelas mungkin hingga tak ada keraguan dan tafsir yang berbeda. 
 
Diriwayatkan oleh Imam Al-Tutmudzi di dalam sunahnya dari Abdullah bin Muhsin Al-Khutami bahwa Nabi Muhammand shalallahu ‘alai wasallam bersabda: “Barangsiapa yang pada waktu paginya merasakan ketentraman hati, sehat pada jasmaninya, dia memilki makanan untuk hari itu maka sungguh seakan dunia telah dikumpulkan untuk dirinya”. [Al-Turmudzi: 4/547 no: 2346].
 
Merujuk hadits di atas, seyogyanya penyelenggara pendidpikan Islam dapat memberikan  rasa tenteram untuk bekerja di sekolah tersebut, memastikan kesehatannya, dan kecukupan bagi diri dan keluarganya. Memastikan kecukupan guru adalah hal yang sangat penting. 
 
Ustadz Erwandi mengatakan (berdasarkan pengalamannya), di Saudi Arabia, pemerintah sangat memerhatikan kesejahteraan guru. Jika guru memiliki kesulitan dari tidak punya rumah hingga pengasuh, akan dibantu oleh pemerintah atau pengelola pendidikan karena itulah syariat. Secara logika pun, ketika hak guru sudah ditunaikan, maka akan sangat mudah memintanya memaksimalkan potensi yang dimiliki.
 
Kemudian, moderator bertanya, di sini terdapat ‘uang bangunan’ untuk membangun fasilitas yang baik. Lalu,  ketika manajemen dihadapkan pada pilihan untuk memilih menyejahterakan guru atau membangun fasilitas, mana yang diutamakan?  Bangunan atau guru? 
 
Ustadz Erwandi menanggapi dengan sebuah hadits yang disahihkan Al-Albani dimana  Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak akan datang kiamat sehingga manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid”. Itulah tanda akhir zaman dimana orang bermegah-megah  membangun masjid. Ingat,  pendidikan itu membangun manusia…  bukan gedung!  Maka,  kemampua guru harus menjadi  prioritas utama,  bukan dijadikan prioritas kedua setelah fasilitas!
 
Saat memasuki sesi tanya jawab, saya hanya bisa menangkap dua pertanyaan dan jawaban. 
 
Pertanyaan pertama mengenai hukum memberikan penalti kepada karyawan yang tidak menyelesaikan masa kontrak. Ust. Erwandi menyatakan hal itu diperkenankan dan disebut sebagai *** (maaf, istilahnya tidak bisa saya tangkap dengan jelas.. mungkin ‘syafil dazali’ namanya?). Seharusnya, akad yang sudah disetujui memang harus diselesaikan sesuai perjanjian awal – baik  dengan maupun tanpa penalti..
 
Pertanyaan kedua mengenai boleh tidaknya menggunakan beragam metode pendidikan seperti bermain peran, menggunakan musik, praktek, dan sebagainya. Ustadz Erwandi mengatakan bahwa sebenarnya Rasulullah sudah mengajarkan hal tersebut, seperti mengajarkan anak dengan bermain, praktek dengan melakukan sesuatu. Sebenarnya boleh, asal tidak menyelisihi sunnah, seperti tidak menggunakan musik dalam pembelajaran. (Tentunya semakin banyak metode menarik, semakin mampu seorang guru menjauhkan musik dari pembelajaran, bukan? -pendapat saya pribadi)
 
Pertanyaan terakhir yang saya tangkap adalah bagaimana dengan lembaga pendidikan yang meminta pendidik untuk menghinari kata tidak. Ustadz Erwandi mengatakan bahwa meminimalkan kata tersebut dan mengubahkan menjadi kalimat yang lebih baik, tentu saja boleh. Hany asaja, jangan dihilangkan sama sekali karena hal tersebut bertentangan dengan syariat.
 
Dan sesi ini pun berakhir pukul 11.30 untuk memberi kesempatan shalat dan makan siang.
 
 

SESI 2: BINGKISAN UNTUK PENDIDIK GENERASI ISLAM

 
Sesi ini dibawakan oleh Ust. Kurnaedi, Lc. Beliau memiliki cara penyampaian berbeda dengan yang sebelumnya dimana sesi tanya jawab dilakukan menggunakan kertas. Bagian yang saya sukai dari sesi ini adalah pernyataan beliau bahwa mengajar adalah karunia Allah yang diberikan pada orang-orang pilihan. Karenanya, menjadi pendidik adalah karunia Allah yang wajib disyukuri. Saat ini, menjadi guru bukanlah semata karena  pendidikan atau pemahaman – melainkan karena karunia Allah.  
 
Karena itu, seorang pendidik mengemban amanah sebagai berikut:
  1. Menyampaikan materi /ilmu. Ingatlah bahwa kita akan ditanyai Allah mengenai apa yang kita ajarkan.  Karena itu, sebagai guru, kita harus tahu bahwa tugas mulia ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
  2. Melaksanakan tugas tarbiyah/ mendidik/ menasehati. Ingatlah bahwa segala tindakan, seperti masuk atau keluar kelas seharusnya tepat waktu. Pikiran seorang guru,  sebaiknya jauh ke akhirat karena ketika orientasi kita duniawi saja maka kita akan menemukan kekurangan dimanapun kita bekerja.  Akhirnya,  kita jadi tidak bersyukur dan melupakan amanah tarbiyah ini.  Tugas kita di abad ini lebih berat karena kita menjadi pengganti orang tua yang bisa jadi tidak memiliki waktu untuk anak-anaknya.
  3. Mensifati diri dengan sifat sabar dan tidak mudah marah.  Dalam   (As-Sajdah: 24) dikatakan “Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” Seorang pengajar adalah pemimpin yang seharusnya memiliki perhatian terhadap muridnya seperti terhadap dirinya dan anak-anaknya sendiri. Pendidik juga harus sabar menghadapi  kekurangan adaban dari murid karena pada dasarnya manusia memang sifanya kurang. 
Ustadz Kurnaedi kemudian membekali jamaah dengan 10 nasihat untuk pendidik yang berasal dari Qur’an dan Sunnah yang sangat baik diterapkan di dalam kelas:
  1. Ucapkan Assalaamu’alaikum ketika masuk kelas. Caranya, biarkan anak duduk dahulu, lalu ucapkanlah. Kemudian, didiklah agar mereka terbiasa pula membalas salam.
  2. Tampakkan wajah berseri (meskipun banyak hutang). JIka “Senyum anda terhadap saudara anda adalah sodaqoh.”  Maka, murid kita yang paling berhak mendapatkannya.
  3. Membuka pelajaran dengan khutbah hajjah, atau mukadimmah yang secukupnya. Jangan juga terlalu lama karena guru yang terlalu banyak bicara akan menghancurkan masa depan anak didiknya.
  4. Menggunakan kalimat yang baik di depan santri.  Jika siswa menjawab benar, biasakanlah mengucapkan “Ahsanta.  BarakAllaah fik“. Jika ternyata jawabannya belum tepat, ucapkan “Aslahakallaahu/ aslahakillaahu” (Semoga Allah memperbaiki Anda). Ingatlah sebuah hadits dimana Rasulullah bersabda  “Kata-kata yang baik adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari no. 2707 dan Muslim no. 2332)
  5. Menjauhi perkataan yang mengandung celaan krena siswa belajar perkataan yang baik dan buruk dari gurunya.
  6. Menegur murid-murid yang tidur atau sibuk sendiri (main handphone, tidak mendengarkan, dst). Tapi, jangan juga mencontohkan akhlak yang buruk, misalnya dengan  membalas sms di dalam kelas. 🙂
  7. Mengatur waktu menjawab pertanyaan dan tidak membiasakan murid untuk menginterupsi meski mengacungkan tangan.
  8. Memperhatikan adab-adab islami dan menggunakan kesempatan untuk mencontohkan ketika bergaul dengan siswa. Misalnya, ucapkan alhamdulillah ketika bersin, dst.
  9. Memperlihatkan  kebersihan dan kerapihan.  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar biji dzarah dari kesombongan.” Seorang berkata:”Ya Rasulullah, seseorang senang terhadap sandalnya yang bagus dan pakaiannya yang bagus?” Beliau bersabda : ”Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR Muslim dari shahabat Abdullah bin Mas’ud).
  10. Jika bekerja di tempat yang ikhtilat,  tempatkanlah laki-laki di depan dan perempuan di belakang.
 
Untuk sesi tanya-jawab, berhubung alam memanggil, lagi. -__-“, saya hanya bisa menangkap beberapa poin  sebagai berikut:
 
  • Mendidik anak yang nakal? Sabar, tegas, konsisten, dan tetap tunjukan ahlak yang baik.
  • Bolehkah guru ikhwan mengajar akhwat dan sebaliknya? Sebisa mungkin,  guru ikhwan mengajar kelas ikhwan dan sebaliknya.
  • Apa hukumnya jika memiliki program studi tur ke luar kota/ negeri? Itu hukumnya safar. Pastikan siswa/ guru akhwat didampingi mahrom.
  • Apa metode terbaik untuk pesantren? Metode masing-masing pesantren berbeda, karenanya selalu perbaiki diri dan pastikan tidak menyelisihi Qur’an dan sunnah.
Alhamdulillaah… waktu menunjukan pukul 14.30 dan sudah waktunya pulang. Ilmu hari ini sungguh padat dan saya bersyukur diberikan kesempatan untuk menghadirinya..
Akhir kata, mohon maaf (lagi) jika terdapat salah penulisan… namanya juga newbie dalam hal laporan per-dauroh-an ini… ^___^
Semoga tulisan ini bermanfaat, terutama bagi para pendidik generasi islam, insyaAllaah.
 

13 tanggapan untuk “Manajemen Pendidikan Islam: Catatan Daurohku”

Tinggalkan Balasan ke muhammaddhiaulhaq Batalkan balasan